Serabut-serabut benang mencuat dari topi kainnya yang kumal. Kulitnya hitam legam lantaran tersengat mentari setiap hari di tanah lapang yang panas ini. Namun saya yakin baginya panas membakar lebih membuka pintu anugerah bagi dagangan minuman ringan yang dipanggulnya daripada hujan mengguyur.
Hanya saja siang yang panas itu sepi. Hanya saya bersama si bapak penjual minuman itu yang berdiang di bawah matahari yang membara.
“Bapak, saya beli teh botolnya satu,” ucap saya melanjutkan sembari menunjuk ke huruf-huruf besar bertuliskan Pantai Losari yang tertata rapi di belakang sana, “Sama sekalian tolong fotoin saya di depan tulisan itu ya.”
Losari adalah Makassar. Pantai ini adalah garis batas antara Makassar dengan pasase lautan yang menghubungkan Sulawesi dengan Kalimantan dan Jawa. Enam puluh tahun silam, pemerintah kolonial membangun dinding beton sepanjang satu kilometer untuk membentengi Makassar dari lamunan ombak laut dan erosi.
Selama bertahun-tahun, barisan los pedagang makanan berdiri berjajar di sepanjang garis pantai ini, menghidupkan kemeriahan suasana malamnya. Tapi semenjak Pelataran Bahari digagas oleh pemerintah kota beberapa tahun lewat, para pedagang digeser agak ke belakang, menjadikan sempadan Pantai Losari sebagai ruang terbuka publik.
Saya terdiam sejenak melihat pulau kecil yang ada di seberang sana. Belum berapa lama namun lengan saya sudah terasa agak perih, memerah, pertanda saya harus segera meninggalkan terik matahari sebelum kulit ini terbakar semakin parah.
“Kamu ada di mana kah? Saya jemput mau kah?” tanya Rudy melalui pesan singkat. Rudy adalah teman lama saya selama kuliah yang tinggal di Makassar. Memang hari ini saya punya rencana untuk berkeliling kota bersama dengannya.
Perlahan saya melangkah menjauh dari sempadan Pantai Losari, sementara di belakang terlihat bapak penjual minuman tadi masih berjemur.