“Foto! Foto!” teriaknya sambil memanjat ke sela-sela pohon kelapa, “Apa di Jakarta juga ada laut? Apa di Jakarta ada banyak sekali penyu? Ibukota penyunya lebih banyak daripada di sini?”
Anak itu menghujani saya dengan banyak sekali pertanyaan. Hanif baru kelas tiga SD dan belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di luar pulau kecil ini. Dengan sabar saya menjawab pertanyaannya satu per satu. Saya bercerita tentang Indonesia yang luas, dari Sabang sampai Merauke. Yang setiap daerahnya mempunyai keunikan masing-masing termasuk Derawan.
Anak-anak Derawan adalah teman-teman saya selama dua minggu di sini. Mereka masih begitu polos karena rata-rata belum pernah keluar dari pulau ini. Banyak sekali keingintahuan mereka yang belum terakomodasi, mengingat orang tua mereka rata-rata hanya bekerja sebagai nelayan lepas.
“Tapi saya sudah pernah ke Berau,” kata salah seorang dari mereka yang saya lupa namanya, “Jauh sekali yang namanya Berau itu. Dua jam naik mobil dari seberang sana.”
Anak lain pun menimpali bahwa Berau ramai sekali, penuh kapal-kapal besar. Sebenarnya untuk ukuran sebuah kampung di pulau kecil, Derawan termasuk desa yang sejahtera. Mulai dari listrik, makanan, dan air bersih, semuanya tersedia di pulau ini. Hanya saja anak-anak ini hidup di dalam dunia mereka yang penuh dengan keterbatasan akan akses terhadap dunia luar.
Waktu berjalan sedemikian lambat di Derawan. Setengah bulan yang saya habiskan di pulau ini serasa bagaikan setengah tahun di Jakarta. Selain ritme kehidupan yang serba kalem, tidak ada tuntutan bagi siapapun untuk tergesa-gesa. Setiap hari saya habiskan untuk membaca buku sambil menikmati sunyinya suasana pantai dan sesekali snorkelling di lautnya.
Sekilas memang terdengar menyenangkan. Namun lambat laun saya bosan. Ada keinginan membuncah untuk menjelajah lebih jauh lagi. Ah, mungkin saya memang makhluk nomaden.