Rebahlah saya di bangku malas yang terpasang di emperan pondok. Perjalanan yang berawal dari Jakarta, persinggahan semalam di Makassar dan Sorong, hingga pencapaian di Waisai, membawa saya ke tanah ini, Saleo namanya. Di sinilah saya akhirnya bisa duduk dan menarik napas panjang untuk melepas lelah perjalanan yang hampir dua hari dua malam lamanya.
Tanah ini adalah tanah alien. Bahkan bagi standar penduduk Papua Barat sekalipun, tidak banyak yang pernah mencapai Saleo. Lepas dari daratan Papua, ia terselip di sudut Pulau Waigeo.
Sudah barang tentu Saleo bukanlah tempat wisata yang gegap gempita. Bahkan papan nama pun tiada. Namun berdasar informasi dari Indra, saya percaya saja bahwa tempat inilah landasan titik tolak terbaik untuk menyusuri Raja Ampat.
Kami hanya punya satu kamar sederhana. Di bagian dalam satu ruang bersekat bambu berukuran medioker ini hanya terdapat dua kasur kecil, sisanya adalah kelambu dan bantal guling. Bagi saya ini sudah lebih dari cukup, lantaran dua hari terakhir kami terpaksa tidur di emperan bandara dan halaman sebuah gedung sekolah negeri.
“Selamat datang di homestay saya yang sederhana ini,” sambut Pak Inyong dengan antusias, “Nanti malam mohon maaf, di sebelah sedang ada pesta perkawinan. Jadi mungkin agak ribut. Karena biasanya memang orang Papua kalau berpesta ramai sekali.”
Dan benarlah. Pesta perwakinan di Desa Saleo malam itu diwarnai dengan dentum-dentum musik yang memekakkan telinga. Suara teriakan orang juga masih terdengar menjelang pukul satu atau dua malam. Yang lebih konyol, musik yang diputar beraneka ragam, mulai dari lagu India bahkan hingga lagu Minang!
“Oh, penduduk desa sebenarnya tidak paham kok arti lagu-lagu Minang itu,” timpal Pak Inyong keesokan harinya, “Mereka cuma suka iramanya.”