Ribuan tahun manusia mendiami perairan ini. Namun mereka nyaris tiada jejak selain gurat-gurat stempel telapak tangan pada permukaan dinding-dinding karang. Selebihnya adalah lautan liar dengan gugus-gugus kepulauan kecil yang mencuat dari permukaannya.
Terbanyang beberapa ratus abad silam ketika manusia prasejarah dengan perahu-perahu buluh mengarungi pasase sempit sepanjang Teluk Kabui. Perairan ini pernah dan selalu menjadi hampar laut nan sunyi di lipatan pulau-pulau tanpa tuan. Hingga akhirnya, kini, tatkala influks penjelajah modern datang dengan perahu-perahu motor yang berisik, pemandu, GPS, dan kamera berlensa lebar menghinggapi setiap sudutnya tanpa ampun.
Barangkali senarai masa sunyi akan segera pungkas. Barangkali. Hanya ada jendela waktu sempit yang sanggup untuk kita manfaatkan untuk mencumbu Raja Ampat pada sisa-sisa penghabisan kesunyiannya. Setelah ini, mungkin turisme akan mengubah wajah dan nuansa tanah ini.
Pak Odigenes nampak masih sibuk dengan kelapa-kelapanya. Satu demi satu kulit-kulit kelapa yang ada di dek perahu kayu itu dibuangnya ke lautan lepas. Dengan kepadatan penduduk yang sangat rendah seperti, menyampah di laut sudah tentu belum menjadi masalah besar. Namun entah nanti ketika daerah ini sudah semakin ramai, bisa jadi permasalahan-permasalahan itu akan muncul dan melahirkan efek domino lingkungan.
Boleh saya kata saya berpikir terlampau jauh. Setidaknya hingga saat ini saya masih terdampar seorang diri di pulau terpencil tanpa terlihat seorang wisatawan. Kekhawatiran akan berubahnya wajah tanah ini mungkin adalah sebuah kekhawatiran prematur. Mungkin.
Ada baiknya pula ke Raja Ampat itu mahal dengan akomodasi serba sulit. Andaikan murah, dapat dibayangkan gelombang pemburu gambar yang akan merangsek kesunyian perairan ini. Untuk sementara, diam-diam saya mensyukuri kekurangan ini.