Empat atau lima butir kelapa diserak di atas pasir putih. Dengan sigap, Pak Odigenes mengambil sebilah golok dan mengupas kelapa itu satu per satu. Saya hanya mengamati sambil duduk ketika tangan-tangan legam itu dengan lihai membantai batok-batok kelapa yang masih hijau.
Kami barangkali sudah cukup jauh dari Waigeo. Perahu kecil yang kami tumpangi sudah hampir setengah hari berada di pasase laut Dampier dan baru beberapa saat yang lalu kami terdampar di daratan ini. Mungkin satu dari sekian ribu pulau yang ada di sebaran Batang Pele.
Ketika orang bicara perihal Raja Ampat, acapkali mereka tiada gambaran tentang betapa luasnya wilayah ini. Raja Ampat meliputi ribuan kepulauan dalam teritori seluas Jawa Timur!
Dengan demikian, bicara tentang Raja Ampat sahaja akan jauh dari kata spesifik. Butuh berlapis-lapis penjelasan untuk menyatakan posisi kita dengan lebih akurat, apakah Pulau Mansuar, Pulau Kawe, atau malah Pulau Sajang? Tidak hanya kontur geografinya yang berbeda namun juga kultur masyarakatnya, apabila pulau tersebut berpenghuni.
Dan pada siang yang terang benderang ini, tersudutlah saya di sebuah pulau tanpa nama, sebuah daratan kosong di sebelah barat Pulau Batang Pele.
“Saya juga tidak tahu nama pulau ini,” ungkap Pak Titus sambil tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya yang putih, “Kami berhenti di pulau manapun bisa dapat kelapa.”
Apalah arti dari sebuah nama, terlebih untuk sebuah pulau di Lautan Halmahera, selain menjadi bagian penting dalam proses navigasi di kemudian hari. Namun entahlah. Apakah hukum negara republik ini mengizinkan pulau tanpa nama untuk saya namai?