Entah ada berapa lusin sanggar tari di Ubud. Namun Pak Yasa sudah mewanti-wanti saya untuk tidak salah memilih pertunjukan tari kecak. Hal yang seharusnya tidak terlampau menjadi masalah lantaran toh pemahaman saya ihwal seni sangat terbatas.
“Pokoknya kalau memilih tari kecak, lihat kostumnya,” jelas Pak Yasa sambil mengacung-acungkan pipa cerutunya, “Kalau kostumnya lusuh, wajah penarinya terlihat kurang antusias, itu sih biasanya sanggar yang kelasnya rendah. Carilah yang berkualitas.”
Pak Yasa tidak menyebut merk. Namun berbekal dua parameter tadi saya pun mulai mengunjungi beberapa penjual tiket pertunjukan kecak di jalanan. Mereka memasang meja-meja kayu hampir di seluruh sudut Ubud, bahkan hampir masuk Monkey Forest.
Akhirnya pandangan saya tertuju ke seorang kakek berpakaian putih bersih yang menggenggam beberapa lembar tiket. Dengan senyum lebar, si kakek mengibaskan tiket di tangannya, “Do you want ticket? Fire dance? Only seventy thousands.”
“Boleh, Pak,” saya menyahut singkat. Kemudian mengeluarkan uang tujuh puluh ribu rupiah untuk membelinya. Kali ini saya berjudi memilih sanggar tari yang didukung oleh si kakek. Semoga tidak mengecewakan. Insting saya sih mengatakan tidak.
Pertunjukan tari kecak memang berlangsung hanya lebih kurang satu jam. Namun secara umum penampilan mereka mengesankan. Para penari pria terlihat kompak melakukan gerakan tari-tarian api, lengkap dengan pandita, penari wanita, dan para penari utama yang terlihat begitu mendalami perannya menendang bola api ke sana kemari.
Menariknya, saya adalah satu-satunya turis lokal di sana.
Belum pukul sembilan tatkala pelataran itu meredup. Lidah-lidah api terakhir padam. Para penari melambaikan tangan diiringi tepuk tangan bergemuruh para pengunjung. Dan demikianlah malam luar biasa itu pun dipungkas dengan sempurna.