Ironi dari Negeri Lima

Pemandangan tetumbuhan hijau dan lintasan beraspal mulus mendadak terputus. Tersibak di hadapan saya lanskap kelabu beralaskan batu pasir. Tiang-tiang listrik setengah miring dan pohon-pohon kering berhadap-hadapan mengapit lajur kerakal sempit. Sebuah sungai kecil membelah begitu saja, entah dari mana sumbernya. Hembusan angin kencang menerbangkan debu aluvial ke pelbagai arah.

Saya tercekat. Inilah Negeri Lima. Kemarin tempat ini merupakan dataran subur yang menggantungkan hidupnya kepada bukit bendungan alami bernama Way Ela. Namun suatu kala dinding penyangga alam tersebut retak, runtuh, menumpahkan segala isi perutnya ke lembah pesisir laut ini, membilas peradaban yang bermukim di kakinya. Yang dulu menghidupinya menjadi yang mematikannya.

“Kamu turun dulu,” kata saya kepada Norris yang duduk di belakang. Sebuah sungai beraliran semenjana menghadang jalan kami. Mau tidak mau saya harus meloloskan sepeda motor ini melampauinya.

Sepeda motor saya teroboskan memenggal leher sungai yang paling cethek, yang kedalamannya hanya setengah dengkul. Terlihat sederhana. Namun siapa sangka tanah pasir yang mendasari sungai tersebut membuat sepeda motor terseok-seok. Salah-salah sepeda motor kecil tadi bisa hanyut konyol gara-gara dibawa arus nanggung ini ke laut lepas.

“Pop Ice, Bang!” sayup-sayup terdengar suara riang seorang ibu di kolong kios sederhana. Gila. Di tempat sunyi senyap seperti ini ada yang punya jiwa pengusaha dengan membuka warung Pop Ice.

Norris dan saya duduk di kios tersebut menikmati minuman sambil bercanda dengan si ibu dan anaknya yang masih balita. Sepanjang kami duduk di sana, boleh dibilang tak ada kendaraan melintas. Saya yakin dalam satu hari jumlah pelintas daerah ini bisa dihitung dengan jari. Memang di tempat ini si ibu tidak mempunyai segmen market yang besar, tetapi setidaknya dia tidak punya kompetitor!