Muka saya belepotan. Hitam legam lantaran debu jalanan. Hampir tiga jam saya abai akan buram kacamata berkendara seorang diri dari Bandung ke Sumedang. Dari keluaran Bandung di Cileunyi yang padat sesak dengan kendaraan, hingga melintasi jalur maut Cadas Pangeran nan legendaris demi mencapai Sumedang di timur laut sana.
Entah apa yang saya cari di Sumedang. Terkadang saya hanya berniat untuk berkendara sejauh mungkin demi melepaskan diri dari kungkungan cekungan Bandung. Ke manapun roda berputar dan demikianlah hari ini saya bersinggah di Sumedang.
Empal gentong adalah makanan distingtif Cirebon, tetangga Sumedang. Secara kategoristis, empal gentong adalah soto gulai daging yang dimasak di dalam gentong lempung liat dan nyala apinya masih menggunakan kayu bakar. Empat gentong bisa dihidangkan dengan kuah santan ataupun kuah bening, tergantung selera penikmat dan toleransinya terhadap keasaman.
Lain halnya dengan Tahu Bungkeng atau Tahu Sumedang yang sudah barang pasti lebih kondang. Tahu Sumedang pada awalnya merupakan racikan Ong Ki No, seorang saudagar Tionghoa yang memulai usaha tahu goreng di kota ini. Bisnis pertahuan yang dipotong kecil-kecil ini justru baru sukses di periode anaknya, Ong Bun Keng, sehingga tenar dengan nama Tahu Bungkeng.
Popularitas Tahu Bungkeng yang menyebar hingga ke luaran daerah, membuat para pelanggan kemudian menyebutnya dengan istilah Tahu Sumedang. Tahu Sumedang inilah yang kemudian menjadi makanan khas Sumedang dan tidak hanya menjadi label khusus bagi Tahu Bungkeng, melainkan sebuah kuliner partikular.
Meskipun konon tidak pernah sepi pengunjung, siang itu saya yang belepotan ini hanya seorang diri di rumah makan Tahu Bungkeng. Barangkali karena jam kedatangan saya yang agaknya tidak bersesuaian dengan jam makan siang atau memang hari itu kebetulan sepi, yang jelas saya adalah satu-satunya pembeli dan penikmat di restoran legendaris ini.