Matahari belum terbit namun bendera Jepang sudah berkibar di langit Laha. Sejumlah serdadu Australia terdesak di Eri dalam kondisi kelelahan dan penuh luka akibat perang yang berkecamuk selama sepekan terakhir. Pagi itu armada nihon Takeo Ito melancarkan serbuan pamungkas, letupan demi letupan artileri mencabik-cabik Eri, menyudahi perlawanan tentara sekutu. Orang Australia menyerah.
Di tepian landas pacu lapangan terbang Laha, tiga ratus serdadu Australia diikat berjajar. Malam itu Laha mandi darah. Perintah frontal dari Laksamana Hatakeyama Koichiro untuk melepas nyawa para tawanan dijalankan secara massal. Bau anyir dan darah pekat membanjiri lapangan terbang yang hanya diterangi cahaya redup itu. Sebuah pembantaian yang pada kemudian hari dibalas dengan ganjaran hukuman mati oleh tribunal militer sekutu.
Demikianlah Ambon menyimpan salah satu cerita paling kelam dari Perang Dunia II.
“Kuburan Australia ada di Tantui, dari sini naik angkot yang itu,” jawab dua orang polisi lalu lintas yang sedang asyik bercengkerama di warung tenda kumal.
Agak susah mencari tanah pemakaman ini karena nama kuburan Australia sendiri masih terdengar alien bagi orang kebanyakan. Sumber informasi terbaik tentu saja tukang ojek dan sopir angkot yang setiap hari lalu lalang di daerah tersebut. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya sampailah juga saya di tanah kober Tantui yang dicari-cari itu.
Ratusan nisan berjajar rapi membentuk larik-larik di lapangan berumput itu. Saya berjalan menyusuri barisan nisan tersebut satu demi satu, tidak hanya nama-nama barat yang familiar, namun terdapat pula puluhan nama-nama India. Beberapa nisan dibiarkan begitu saja tanpa nama. Tanpa tuan.
Gull Force. Demikian nama batalion ini dulu disebut. Seribu seratus anak muda Australia ditempatkan di Ambon hingga armada Jepang menyerbu tempat ini. Banyak di antara mereka merupakan keturunan India yang bekerja untuk Inggris. Misi mereka satu, mempertahankan pelabuhan udara Laha. Misi yang akhirnya harus dibayar dengan nyawa mereka.
Pohon-pohon rindang meneduhi langkah saya sore itu, matahari yang sudah agak rendah menyorotkan cahaya yang berkilauan di ujung-ujung rerumputan yang basah. Tempat ini bukan tempat yang dikenal kebanyakan warga Indonesia. Namun setiap peringatan Anzac Day, pejabat-pejabat Australia senantiasa berkunjung ke tempat ini untuk memberikan penghormatan kepada para serdadu. Bagi Australia, tempat ini menyimpan sebuah memoar penting.