Memang dasarnya manusia kota tidak pernah melihat kantung semar. Setiap kali bapak pemandu berhenti untuk menjelaskan nama-nama pohon, kami mengitari pohon untuk mengambil gambar sambil terheran-heran.
“Ini adalah kantung semar,” jelas si bapak bertopi biru dongker, “Tumbuhan yang makan serangga seperti lalat, hewan akan tertarik dengan baunya dan hinggap di situ. Ketika hinggap, dia terjebak di dalam dan menjadi makanan bagi tumbuhan ini.”
Sebenarnya kantung semar ada di mana-mana. Bukan cuma Kerinci. Tetapi karena memang pada dasarnya orang kota, kami butuh dijelaskan untuk hal sesederhana itu.
Kerinci kaya akan flora hutan hujan tropis. Salah satunya adalah pinus Kerinci yang tumbuh pada lereng-lereng curam dengan tanah yang miskin hara dan keasaman rendah. Sayangnya populasi pohon ini semakin langka lantaran tidak adanya upaya pembaruan, meskipun secara aktif kayunya dieksploitasi sebagai bahan cat.
Selain pinus, flora langka hutan Kerinci adalah kayu pacat dan bunga bangkai. Lantaran bentuknya yang unik, kayu pacat adalah spesies cemara gunung yang banyak diburu orang. Lingkar dalam kayu pacat terdapat warna belang hitam kemerahan yang terbercak tidak beraturan, membentuk ukir-ukiran alami.
Karena nilainya itulah, kayu pacat dieksploitasi berlebihan. Kayunya digunakan sebagai bahan baku pembuat tongkat, hiasan dinding, hingga gagang keris. Tidak mengherankan apabila tumbuhan ini semakin sulit ditemukan, alias semakin langka.
Lantaran kami terlalu sering berhenti, perjalanan ini menjadi lebih lama daripada seharusnya. Sang bapak pemandu pun berusaha untuk mengompori kami mempercepat langkah. Entah bagaimana caranya, pokoknya kita harus sudah tiba di atas sana sebelum tengah hari.
Menyadari waktu yang terbatas, kami pun kompak mempercepat langkah.
Saya melirik ke atas. Mendung.