Sebiasanya keindahan dan kesunyian melebur menjadi satu. Di ambang cakrawala tertampak tujuh pucuk gunung yang mengitari danau permai di tinggian Kerinci ini. Hujan gerimis yang sedari tadi mengguyur luasan Kerinci seakan tidak berkesudahan, jaket parasut yang saya kenakan terpaksa ditanggal sebentar untuk dikeringkan. Tersisalah kaos tipis ini sebagai satu-satunya perlindungan saya menghadang udara dingin.
Acap disebutkan bahwa Danau Gunung Tujuh adalah danau paling tinggi di Asia Tenggara, perihal kebenaran kisahnya, entahlah. Saya tidak berkesempatan untuk memeriksa.
“Konon danau ini dijaga oleh dua makhluk gaib,” ucap Pak Yono yang sedang sibuk membersihkan sampan di sana, “Ya makhluk gaib yang menyerupai manusia harimau.”
Manusia harimau adalah sosok kriptid yang akrab dengan Kerinci. Mereka menyebutnya Cindaku. Sosok manusia harimau mistis ini dipercaya menjadi penengah antara masyarakat Kerinci dengan harimau yang wilayah hidupnya semakin kemari semakin berpotongan.
Banyak cerita dari danau ini tentu saja, tentang tingginya dan tentang mitosnya. Namun bagi saya hanya ada satu hal yang pasti ketenangan permukaan airnya yang bergetar perlahan dan halimun yang menggantung rendah di awang-awangnya membuat nuansa danau ini begitu mistis.
“Kalau hanya punya waktu sebentar di Kerinci,” sambung Pak Yono lagi, “Memang sebaiknya ke sini saja, pendakian sehari penuh sudah cukup untuk bolak balik.”
Memang. Tetapi sayangnya hari itu cuaca tidak terlalu bersahabat sehingga kami harus turun lebih awal, menghindari hari gelap tentunya. Saya berjalan menjauh dari kerumunan rombangan kami, mencari sebuah batu besar dan duduk di atasnya kemudian menerawang jauh ke seberang sana. Keindahan dan kesunyian memang senantiasa berbaur menjadi satu.