“Ratu Elizabeth pernah minum teh ini,” ucap Pak Sriwarno bangga.
Memang sudah rahasia publik bahwa teh Kayu Aro digemari oleh bangsawan Eropa. Termasuk di antaranya Ratu Inggris dan Ratu Belanda. Teh produksi Kayu Aro dengan grade tertinggi lazimnya dikirim ke Eropa, sementara yang kualitasnya lebih rendah dijadikan campuran teh pabrikan lokal, kemudian yang terakhir barulah masuk ke pedagang-pedagang lokal.
“Orang Eropa suka banget sama teh kami,” lanjut Pak Sriwarno sambil mengajak saya berjalan di sepanjang laluan kebun teh, “Alasannya ya karena teh Kayu Aro itu rasanya sepet, agak pahit dan membekas di rongga mulut.”
Pak Sriwarno kemudian menuju ke salah satu satu konter yang menampung banyak cawan berisi teh yang baru saja diseduh. Sembari menciduk sesendok teh, beliau mengajari saya teknik untuk melakukan tea tasting.
Pertama, teh disendok untuk dicium aromanya. Kemudian cepat-cepat dihisap hingga mendekati kerongkongan dan segera diludahkan, jangan ditelan. Apabila aroma dan rasanya pas, maka teh tersebut lulus tes. Selain itu tes ini juga digunakan untuk membedakan antara kualitas tertinggi dengan kualitas-kualitas lain di bawahnya. Saya mencoba dan menebak urutan kualitas teh dari masing-masing cawan. Hampir benar.
Pak Sriwarno adalah kepala pabrik. Sudah barang tentu beliau tidak mempunyai banyak waktu sehingga kami harus cepat-cepat berpisah untuk melanjutkan aktivitas masing-masing.
Saya menoleh kepada Wahyu dan nyeletuk, “Sepertinya teh di sini memang benar enak, coba kita ke kios di sebelah sana. Kalau dia punya teh lokal, nanti kita beli banyak.”
Meskipun saya tahu teh-teh lokal Kayu Aro yang dijual di sini adalah “sisa ekspor” alias kualitas bawah yang gagal ekspor, tetap saja saya tergoda untuk membeli. Jadilah kami berdua menuju ke kios yang ada di seberang Tugu Macan untuk membeli beberapa bungkus.
Rasanya? Nanti saya kasih tahu.