Ladeh Panjang bukan nama yang familiar bagi masyarakat luas. Namun bagi pegiat satwa, nama ini menjadi totem Sumatera bagian Barat. Inilah rawa-rawa yang merupakan sangtuari, kediaman harimau Sumatera di Jambi, harapan sekaligus remah-remah terakhir sang raja hutan selain Bukit Barisan Selatan dan Gunung Leuser.
Terkikisnya hutan hujan Sumatera, terutama di Riau dan Jambi, yang dirambah oleh perkebunan sawit memang membuat harimau semakin terdesak.
Ladeh Panjang adalah hamparan wetlands alias tanah basah. Pohon-pohon berukuran medioker menghiasi tanah ini tertutup oleh rendaman air setinggi lutut. Pada siang hari kita bisa melihat hewan-hewan liar seperti kijang dan babi hutan yang merapat ke danau untuk minum. Namun pada malam hari, tanah ini menjadi arena bermain harimau Sumatera.
Tidak. Saya tidak bertemu harimau. Karena memang kami tidak ke sana malam-malam. Bagi saya sang pemandu yang memamerkan foto-foto jejak kaki harimau yang didapati di Ladeh Panjang bagi saya sudah cukup mencengangkan.
Wahyu dan saya tidak berniat berlama-lama. Sesaat kemudian kami sudah kembali ke desa dan menyusuri jalanan beraspal yang membawa kami ke rumah Pak Subandi. Terlihat banyak orang sedang sibuk mempersiapkan tenda untuk berjualan menjelang sore hari.
Tepat di depan rumah Pak Subandi saya menatap ke arah Tugu Macan. Patung seekor harimau yang sedang menerkam menjadi ikon desa ini. Tentu bukan tanpa alasan. Mereka memang hidup di dekat desa ini.