Ini bus malam atau rumah hantu?
Pertama lampu padam sehingga perjalanan malam itu menjadi gelap gulita. Kemudian beberapa bagian atapnya bocor sehingga saya harus dua kali berpindah tempat duduk apabila tidak mau basah kuyup. Terakhir seorang perempuan di bangku belakang kesurupan dan berteriak-teriak sehingga orang-orang di sekitarnya kerepotan menenangkan. Lucunya, sopir seakan tidak peduli dan tetap memacu kendaraan. Lha tugasnya kan memang cuma satu, nyetir.
Perjalanan semakin menarik, karena beberapa saat kemudian kami harus memasuki jalanan yang rusak parah. Bahkan saking parahnya hingga bus terpaksa harus menyeberangi jembatan kayu yang terlihat meragukan. Bisa dibayangkan setiap putaran roda diiringi oleh suara retakan, krak!
Bus bergoyang pelan di ujung jembatan. Berjalan gontai meskipun selamat dari horor ini. Saya hanya kasihan dengan kendaraan-kendaraan berikutnya yang lewat situ, apakah kondisi jembatan itu masih cukup layak atau sudah nyaris remuk dilewati bus kami.
Perjalanan berlanjut memasuki daerah Pasaman. Matahari tidak terbit.
Ya, matahari seakan tidak terbit karena kabut tebal terus menerus menutupi jalan. Bahkan melirik keluar jendela pun nyaris tidak terlihat apa-apa. Yang saya tahu hanyalah jalan berkelok-kelok dan kami berada di tepi tebing lantaran posisi batang pohon terlihat di bawah jendela. Bahkan saya bisa merasakan berulang kali bus terperosok di kubangan lumpur.
Saya pernah mengalami perjalanan serupa ketika berada di Pokhara dan Luang Prabang sehingga saya tidak terlalu ambil pusing dengan situasi jalan. Namun perempuan muda yang duduk di sebelah saya sedari tadi membaca doa yang saya kurang tahu pasti isinya apa.
Barulah sekitar lima belas jam perjalanan dari Medan saya tiba di Pasaman. Pemberhentian di Lubuk Sikaping membuat seisi bus lebih tenang, lantaran langit sudah cerah dan datar. Masih ada beberapa jam perjalanan lagi sebelum saya tiba di Bukittinggi.