Kota Bukittinggi bermula dari sitadel ini.
Untuk menegaskan klaim terhadap seisi wilayah Agam dan Pasaman, Hendrik Merkus de Kock membangun benteng ini di lapangan pucuk Bukit Jirek. Dari benteng kecil inilah pertahanan dan pengawasan masyarakat di sekitar Ngarai Sianok dikendalikan.
Keberadaan benteng yang dikenal dengan nama Fort de Kock ini menjadi titik patok Bukittinggi. Di sekitarnya gedung-gedung pemerintahan berdiri, pemukiman menjamur, dan pasar-pasar pusat perdagangan bermunculan. Singkatnya, Bukittinggi lahir dari sebuah benteng.
Hujan masih senantiasa membasuh Bukittinggi pada senja itu. Namun saya berusaha sesanggup mungkin untuk mengabaikan rintik-rintik air dengan merapatkan jaket. Saya hanya punya waktu satu hari untuk menjelajah kota ini, sudah barang tentu menunda penjelajahan lantaran gerimis tidak mungkin menjadi opsi.
“Merkus de Kock nama yang tidak asing di nusantara,” ucap Pak Imron sambil mengelus jenggot putihnya, “Beliau adalah jenderal yang memimpin perang melawan Pangeran Diponegoro. Untuk Belanda, tentu sosok Jenderal de Kock ini bukan orang sembarangan.”
Saya yakin Pak Imron benar. Namun sepintas Fort de Kock tidak mengesan istimewa. Temboknya yang berwarna hijau toska nampak baru dicat sementara kanon-kanon berkarat masih teronggok di sekitarnya. Benteng ini terlampau kecil untuk dipandang sebagai sesuatu yang istimewa.
Jangan menilai buku lewat sampulnya. Setidaknya demikian pepatah yang saya pegang erat-erat ketika menapaki tangga besi Fort de Kock. Boleh jadi benteng ini memang nampak sederhana dan kaku, namun keberadaannya membawa nilai sejarah yang tidak bernilai.
Bukittinggi berawal dari benteng ini. Tanpa Fort de Kock, kota Bukittinggi tidak pernah ada. Siapa sangka bahwa bangunan sederhana ini adalah totem bagi lahirnya kota bersejarah ini, memecah kesunyian abadi Ngarai Sianok.