Lonely Planet menyebut kebun binatang Bukittinggi sebagai tragedi. Saya tidak bisa menyalahkan mereka berkata demikian, memang ada kesan kuat bahwa kebun binatang satu-satunya di kota ini bertahan hidup dengan bermodalkan dana minimal.
Hujan gerimis yang membasuh Ngarai Sianok sedari pagi membuat suasana kebun binatang ini terasa muram. Hewan-hewan yang ada di dalam kandang nampak lesu, kurang antusias dengan rutinitas. Barangkali tempat mereka terlampau sempit, ataukah karena alasan lainnya. Entahlah.
Kontras dengan ekspresi para pengunjungnya. Seorang bapak nampak menggandeng putrinya seraya berdialog penuh gelak tawa. Di sudut-sudut kebun binatang tadi, para penjaja makanan nampak asyik melayani pembeli. Apa mau kalian kata, kebun binatang ini sudah menjadi hiburan komunal bagi masyarakat Bukittinggi.
Lokasi kebun binatang ini berbagi kompleks dengan sitadel bersejarah, Fort De Kock. Jadi jangan heran apabila pada sejumlah sudutnya kita sesekali menemukan kanon-kanon berkarat tergeletak begitu saja. Bukan. Mereka bukan hiasan. Mereka kanon beneran.
Gerimis memang turun sedari tadi, belum ada tanda-tanda akan berhenti. Keceriaan pengunjung dan kemuraman penghuninya seakan-akan menjadi kombinasi yang benar-benar aneh. Namun barangkali itu hanya perasaan saya semata.
Saya menyepikan diri di sebuah bangku taman lapuk yang landasannya sudah setengah miring. Di sana saya duduk sambil mengamati lalu lalang manusia, tanpa mempedulikan pakaian yang sedikit banyak sudah basah oleh air hujan. Esok hari saya sudah harus melanjutkan perjalanan ke Padang, namun hati ini masih ingin tinggal lebih lama di kota cantik ini, Bukittinggi.