Deru angin seakan bersiulan melewati celah-celah ngarai nan terjal. Bauran antara angin kencang dan gerimis sedari tadi memaksa saya berdiam diri di bawah lindungan atap bedeng seadanya di paparan jalan. Di bawah sana Ngarai Sianok nan masyhur terhampar luas, menjadi latar belakang sekaligus garis batas bagi Bukittinggi.
Adalah Patahan Semangko, sebuah bentukan geologi yang membentuk sebuah patahan raksasa membentang dari Aceh hingga Lampung dalam wujud Bukit Barisan. Ngarai Sianok adalah bagian paling jelas dari patahan masif ini. Membentang ratusan meter membentengi Bukittinggi dengan kedalaman lebih dari seratus meter.
Hujan memang sudah reda. Namun rembesan air masih menggenang di mana-mana. Saya hanya terdiam setengah menyesali sepatu lari saya yang kini basah terendam air.
Segerombolan monyet yang semenjak tadi berteduh di dahan-dahan pohon nan tinggi berlarian keluar menyambut redanya hujan. Mereka bergerombol turun dan bertengger di pagar besi yang membatasi jurang terjal ini. Saya melemparkan dua potong tape singkong yang dengan sigap ditangkap oleh tetua mereka.
Deru aliran Batang Sianok terdengar lamat-lamat di bawah sana. Sungai yang baru saja mendapat limpahan hujan itu kini mengalir kencang di landas Ngarai Sianok, berkelok-kelok apik menghidupi wilayah karbouwengat, habitat kerbau liar di bawah sana.
Sore itu saya tak banyak membidikkan kamera. Saya banyak melewatkan waktu pasca-hujan untuk berdiam diri di pinggir jurang, mengamati para monyet berebut tape singkong yang seakan tidak habis-habis. Meskipun hari sudah sore namun tepi jurang ini masih senyap, sepi pengunjung.
Sayup-sayup suara adzan terdengar di kejauhan, saya pun merapatkan jaket setinggi dagu dan berlalu dari tempat yang hening itu. Sementara di belakang sana monyet-monyet masih melahap sisa-sisa terakhir tape singkong mereka.