Memang Mohammad Hatta yang paling tenar. Namun Minang bukanlah melulu Hatta. Dari tatar Sumatera Barat ini telah lahir pemuda-pemuda terbaik bangsa, macam Sutan Syahrir, Muhammad Yamin, Tan Malaka, hingga Agus Salim.
Gelombang cendekiawan Minang bukanlah cerita baru. Dan sejak berabad-abad, Bukittinggi sudah menjadi episentrumnya, sebagai sentra intelektualitas dan perjuangan. Dan dari sebuah perjalanan menyusuri kota kecil yang ramai ini saya sanggup merasakan sisa-sisa perjuangan yang senantiasa membekas di setiap sudutnya.
Bukittinggi bukan sekedar kota semenjana, ia pernah menjadi ibukota Republik Indonesia selama enam bulan ketika negara sedang menghadapi masa-masa krisis. Pada saat itu kota di Sumatera Barat ini menggawangi pemerintahan di republik yang masih muda dari perebutan kedaulatan.
Jejak-jejak perjuangan Bukittinggi sanggup dilihat dengan jelas di Museum Tri Daya Eka Dharma yang terletak tidak jauh dari taman Ngarai Sianok. Museum ini mudah sekali ditemukan lantaran pada halaman depannya diparkir sebuah pesawat tempur zaman Perang Dunia dengan moncong menghadap ke jalan raya.
Selain museum perjuangan, di kota Bukittinggi ini saya juga menyempatkan diri untuk bersua ke Museum Bung Hatta dan Rumah Bung Hatta. Rumah berdinding kayu bercat kelabu itu nampak lebih terawat daripada Rumah Bung Karno yang pernah saya temui di Ende dan Bengkulu.
Bung Hatta adalah ikon. Bukan hanya ikon Bukittinggi melainkan ikon bagi Republik Indonesia. Kunjungan ke Bukittinggi seakan memberikan penegasan terhadap jasa-jasa sang tokoh.