Sorot cahaya matahari menyeruak masuk. Saya buru-buru menutup cover plastik jendela pesawat untuk menghalaunya. Semalam saya tidur tidak pulas di tengah dinginnya udara malam dan kerasnya bangku baja di sudut Bandara Sultan Hasanuddin. Sementara pagi ini, riuh pesawat kecil dan terangnya ambien membuat saya lagi-lagi tidak bisa tidur.
“Selamat datang di Bandara Hale… Halo… Haluoluo! Haluoleo!” pramugari yang masih belia itu nampak tergagap-gagap membaca nama bandara yang memang punya terlalu banyak huruf vokal ini. Dan sesaat kemudian pesawat pun mendarat dengan kasar di landas pacu Kendari.
Bandara Haluoleo dulunya bernama Bandara Monginsidi. Entah bagaimana nama seorang pahlawan dari Sulawesi Utara, Robert Wolter Monginsidi, dijadikan nama bandara utama Sulawesi Tenggara. Wajarlah apabila lima tahun yang lalu pemerintah provinsi memutuskan untuk menggantinya ke nama yang lebih lokal meskipun agak kurang komunikatif, Haluoleo.
Haluoleo adalah Sultan Buton yang tidak hanya berjasa mengubah bentuk pemerintahan Buton namun juga menyebarkan agama Islam masuk Sulawesi Tenggara. Secara harafiah, Haluoleo merupakan istilah dalam Bahasa Tolaki, bahasa penduduk Kerajaan Konawe, yang bermakna “delapan hari”.
Bandara Haluoleo relatif kecil, tetapi bangunannya modern dan bersih. Sebelum Bandara Mutiara Al-Jufri Palu selesai dibangun awal tahun ini, Bandara Haluoleo adalah bandara paling modern kedua di Sulawesi setelah Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Andaikan landas pacunya diperpanjang, saya rasa bandara ini dapat berperan lebih penting untuk melayani bagian timur Indonesia.