Singkawang lahir karena gold rush. Pada mulanya ia tidaklah lebih dari sebatas pelabuhan singgah bagi para penambang emas yang mencoba peruntungan mereka di daerah Monterado. Perantau pemburu emas dari Tiongkok menyebut tanah ini dengan nama San Keuw Jong, yang artinya kota yang dihimpit bukit dan lautan.
Sebagian besar perjalanan riwayatnya dilewatkan sebagai subordinat dari Kesultanan Sambas, tapi lambat laun Singkawang terus tumbuh. Kini ketika Sambas masih menjadi kabupaten, Singkawang sudah mendapatkan otonomi sebagai sebuah kota.
Singkawang sudah pasti ketel lelehan nan unik. Penduduknya yang mayoritas dari suku Tionghoa barangkali membuat banyak pesinggah dari daerah lain di Indonesia mengernyitkan dahi. Mulai dari juragan hingga kuli angkut di jantung kota amoi ini rata-rata adalah orang Tionghoa, sebuah pemandangan yang kurang lazim bagi kota-kota di Indonesia.
Semenjak dimekarkan pada medio awal reformasi, Singkawang melaju pesat. Dari sebuah kota kecil yang terpisah hampir 150 kilometer dari Pontianak, kini Singkawang berdenyut secara mandiri. Pusat-pusat perbelanjaan modern pun sudah berdiri di salah satu sudutnya, dengan ukuran masif dan terintegrasi dengan hotel.
“Ya, inilah Singkawang,” sergah Rizal terdengar berbangga, “Dulu Sambas dan Singkawang hampir seimbang, tetapi sekarang Singkawang terlihat jauh lebih maju. Kota masa depan lah kita bilang.”
Rizal tidak berlebihan. Singkawang memang telah melaju kencang. Di balik dinding-dinding tripleks warung kopi yang tersebar di kota amoi dengan aromanya yang menyeruak, terlihat crane-crane menjulang membangun cikal bakal pencakar-pencakar langit pertama kota ini. Percayalah, rakyat Singkawang berhak untuk optimis.