Rudy sudah menunggu saya di Kendari. Mau cari angin, katanya. Entah angin apa yang dicari. Kunjungan saya yang pertama ke Sulawesi Tenggara ini memang begitu tidak terencana. Hampir segala aspek dari perjalanan ini, mulai dari tiket hingga destinasi tujuan lahir secara spontan.
“Kita bertemu saja di Kendari,” tulis Rudy melalui pesan singkat. Dengan bermodalkan pesan satu kalimat itu, saya lepas landas ke Kendari untuk memulai sebuah penjelajahan singkat bersama Rudy.
Secara historis, Kendari bukanlah pusat Sulawesi Tenggara. Komando ada di genggaman Bau-Bau. Selama ratusan tahun region Sulawesi Tenggara, kerajaan demi kerajaan, kesultanan demi kesultanan, dikontrol dari Pulau Buton. Republik ini menyudahi tradisi tersebut pada tahun 1964. Manakala provinsi Sulawesi Tenggara dibentuk, dimekarkan dari Sulawesi Selatan, posisi Bau-Bau yang terletak di pulau kecil di luar daratan Sulawesi dipandang akan menyulitkan pembangunan provinsi.
Ditunjuklah Kendari sebagai ibukota pengganti. Lokasinya yang berada di tengah-tengah provinsi dan di daratan Sulawesi membuatnya lebih mudah untuk menjangkau sudut-sudut Sulawesi Tenggara.
Proses naik kelas Kendari terbilang cepat. Kota yang semula ibukota kecamatan ini naik dua level dalam dua puluh tahun, menjadi ibukota provinsi. Saat ini Kendari menjadi kota terbesar keempat di Sulawesi setelah Makassar, Manado, dan Palu dengan penduduk tiga ratus ribu jiwa.
Taksi delapan puluh ribuan yang membawa saya dari bandara akhirnya tiba. Rudy nyengir lebar ketika melihat kedatangan saya membawa ransel besar seperti akan berangkat ke medan perang, dia langsung mengajak saya mengitari sudut-sudut kota Kendari. Mau cari apa? Cari angin.