Singkawang, Rumah Kita

Tepat di tikungan jalan yang ramai itu sebuah klentheng berdinding merah merona merengkuh perhatian saya. Di belakangnya berdiri satu gereja berwarna kuning gading dengan salib marun terpampang jelas. Sementara tidak jauh dari keduanya minaret-minaret hijau sebuah masjid besar mendominasi lanskap.

Singkawang adalah rumah bagi berbagai etnis dan agama. Pemandangan sepintas dari kota kecil ini langsung menyiratkan sinyal bahwa tanah ini bukanlah milik masyarakat yang homogen.

“Memang tidak,” ucap Rizal setengah tertawa, “Orang bilang mayoritas etnis di kota Singkawang adalah orang Tionghoa. Padahal sejatinya Singkawang terlalu heterogen untuk dipahami.”

Demikianlah, di samping etnis Tionghoa, suku bangsa Dayak, Melayu, Jawa, Madura, hingga Bugis berbaur menjadi satu dalam sebuah ketel lelehan, melting pot. Jangan heran apabila Singkawang pernah dipimpin walikota dari berbagai etnis, termasuk di antaranya Hasan Karman yang berasal dari etnis Tionghoa, sebuah ketidaklaziman untuk sebuah kota di Indonesia.

Dua minaret menjulang tinggi pada hadapan saya. Seraya menengadahkan kepala, saya mencoba untuk melihat ujung-ujungnya yang tersilaukan cahaya matahari.

“Inilah Masjid Raya Singkawang,” ungkap Rizal bangga, “Masjid ini pada mulanya dibangun pada abad ke-19 oleh seorang kapitan India.”

Kapitan Bawasahib Marican namanya, seorang pengelana dari Kalkutta yang mendarat di wilayah ini pada penghujung abad ke-19. Oleh Belanda, beliau diangkat menjadi kapitan di Singkawang dan membangun sebuah masjid sederhana di tengah kota kecil ini.

Masjid ini berulang kali dibangun kembali karena berbagai alasan, termasuk di antaranya dilalap api ketika kebakaran besar membumihanguskan seisi kota Singkawang pada medio 1920-an. Saat ini, masjid megah berwarna hijau terang ini mendominasi lanskap, menyuarakan sebuah identitas Islam yang mendarah daging.