Menyesap secangkir kopi di Singkawang rasanya seperti ditarik masuk ke dalam kalender lipat yang memampang foto-foto lawas abad silam. Mulai dari dinding kusam kedai kopi hingga meja kursi lapuk yang peliturnya sudah menipis menyiratkan nuansa Pecinan pada masa lalu. Aroma kopi semerbak memenuhi ruangan, menemani Rizal dan saya yang sedari tadi asyik berdiskusi.
“Tidak ada kemajuan,” gerutu Rizal sambil menghisap dalam-dalam kreteknya, “Sejak dua abad yang lalu saya rasa kedai kopi bentuknya juga seperti ini.”
Bagi saya itu kabar baik. Apa sih yang lebih memikat bagi seorang penjelajah selain eksotisme? Sebuah kata yang berulang-ulang diucapkan oleh para petualang hingga lambat laun kehilangan maknanya, namun hanya sedikit yang benar-benar pernah menyaksikan sang mahkluk bernama eksotisme itu secara langsung.
Terang saja Rizal tidak mau kota kelahirannya disebut sebagai eksotis. Mereka bukan pajangan. Bagi Rizal, semua stagnasi ini bermuara pada pembangunan. Pembangunan yang belakangan ini mulai dikebut di Singkawang boleh dibilang sedikit terlambat.
“Singkawang butuh bandara internasional, butuh pusat perbelanjaan modern, juga butuh hotel bintang lima, kami tidak mau tertinggal,” pungkasnya.