Hari senin museumnya tutup. Tetapi halamannya buka. Karena banyak artefak yang dipajang di luar, jadi bisa saja dibilang Museum Negeri Sulawesi Tenggara ini masih separo buka. Kabar bagus buat Rudy dan saya yang masih bisa melihat-lihat sebagian koleksi museum ini meskipun tidak bisa masuk ke dalam.
Masuk ke halaman depan museum, kami disambut oleh sepasang mobil. Mobil biru bernuansa taksi Blue Bird yang merupakan bekas mobil gubernur Sulawesi Tenggara didampingi mobil hitam yang digunakan oleh presiden ketika berkunjung ke daerah ini. Kalau diperhatikan mobil ini hanya dua puluh tahun lebih tua daripada mobil saya. Artinya, dua puluh tahun lagi Honda City pun layak dimuseumkan.
Tontonan menarik lainnya adalah kerangka paus biru sepanjang dua belas meter yang mati terdampar di perairan Pulau Buton. Semenjak dua dekade yang lewat, kerangka mamalia laut ini nangkring di halaman depan museum. Entah memang didesain untuk seperti itu, atau karena nggak muat untuk dimasukkan ke dalam akibatnya terpaksa diparkir di luar.
Usut punya usut, ada dua paus biru yang pernah terdampar. Namun secara diskriminatif hanya satu yang kerangkanya dipajang di sini. Sementara saudara sepupunya sekarang menghuni Museum Wallacea yang menjadi bagian dari Universitas Haluoelo.
Tentu saja karena tidak bisa masuk, hanya ini yang kami dapatkan. Saya mengambil ransel dan bergegas untuk berjalan pulang. Namun Rudy tiba-tiba menghentikan langkah saya, meminta untuk difoto dahulu di hadapan gedung museum yang sedang menyangkal pengunjung ini. Ah, kenapa tadi saya sampai lupa untuk mengambil gambar obligatoris seperti biasa.