Usianya sudah sangat tua. Bahkan terlampau tua untuk bisa diketahui secara pasti kapan pura ini dibangun dan oleh siapa. Satu-satunya petunjuk yang mengisyaratkan pembangunan Pura Kehen adalah tiga prasasti yang bertarikh abad ke-9 hingga 12 Masehi. Hal ini menunjukkan bahwa Pura Kehen sudah ada semenjak tahun 800-an, erat dengan sejarah berdirinya desa-desa di Bangli.
Desa-desa di Bangli bersatu dalam satu kesatuan utuh yang disebut sebagai Gebog Domas. Di dalam Gebog Domas inilah seluruh desa mempunyai tanggung jawab terhadap keberadaan dan kelestarian Pura Kehen.
Kehen secara harafiah bermakna geni. Pura Kehen merupakan simbolisasi dari altar penyembahan terhadap Dewa Api. Di dalam kelangsungannya, pura ini diwarnai oleh kepercayaan-kepercayaan lokal. Salah satu keyakinan yang mencolok adalah ihwal pohon beringin di tengah pura. Diyakini bahwa patahnya dahan beringin adalah isyarat grubug atau dekatnya sebuah musibah.
Kematian raja atau pandita biasanya juga ditandai dengan patahnya dahan pohon beringin ini.
Desain bangunannya yang majestik dan ukir-ukirannya yang kaya membuat Pura Kehen disebut-sebut oleh Lonely Planet sebagai miniatur Pura Besakih. Tidak salah. Pura Kehen memang terasa begitu mempesona bak Pura Besakih yang jauh terpisah dari keberadaan para turis.
Saya berdiri di pelataran pura ini. Menatap tiga puluh delapan anak tangga yang baru saja saya daki di pintu gerbang. Pada kedua sisi tangga terdapat patung tokoh Ramayana. Sementara di belakang saya halaman luas pura ini terhampar dengan sebuah beringin yang meneduhi.
“Saat ini sedang tidak ada upacara,” terang seorang bapak yang menunggui sepeda motor saya di lapangan parkir, “Biasanya kalau ada upacara, di sini lumayan rame juga kok.”