Selepas deret-deret menhir di Bori Kalimbuang, susuran setapak mengantarkan Rudy dan saya ke kaki tebing. Batu-batu besar terserak dari setiap sudutnya, tertutup bayang-bayang tebing yang membekas dari cahaya matahari sore. Permukaan batu-batu besar tadi dilubangi sedemikian rupa sebagai emplasemen jenazah.
Masyarakat Toraja menyebutnya liang pa, kuburan batu di Bori Kalimbuang. Reratanya setiap batu adalah milik dari salah satu keluarga dan orang-orang yang berhak dikuburkan pada batu tersebut adalah sanak saudara dari keluarga pemilik batu tersebut.
Tengkorak saling bertumpuk di salah satu rongga batu. Sementara ada satu kubur yang terkesan masih baru, dikelilingi bunga-bunga yang beberapa sudah layu kecoklatan. Di atasnya tercantum karangan bunga dengan bertuliskan salam duka cita untuk ibu guru dari para muridnya.
Suasana senyap dan teduh yang menaungi tanah kober Bori Kalimbuang sore itu sepantasnya menambah suasana horor, namun entah kenapa Rudy dan saya justru menikmatinya. Duduklah saya di tepi tangga meresapi waktu yang berjalan lambat. Begitu lambat.