Motor tua itu tersentak. Kemudian tersengal sekali. Lalu tersengal lagi. Pak Jajang beranjak dari tempat duduknya di jok depan, sembari mengusap peluh, beliau meminta agar saya mengambil kendali, “Sepertinya terlalu terjal buat saya, kamu saja yang kendarai, biar saya jalan kaki.”
Saya mengambil ancang-ancang ke belakang kemudian menggeber sepeda motor tadi dengan kekuatan penuh. Sisa-sisa tenaganya memicu suara memekakkan kuping. Debu-debu batu pasir berterbangan menyisakan bekas ban di jalanan berpasir.
Seperti itulah kurang lebih perjalanan membelah Pulau Waigeo. Jalan raya yang menghubungkan Waisai dengan Teluk Mayalibit memang sedang dalam masa pembangunan. Namun saat ini yang ada barulah bongkah-bongkah batu yang disusun seadanya, bertabur pasir kasar di sela-selanya.
Belum pukul tiga tatkala kami berlepas dari halaman sekolah dasar di Waisai, namun kini kami sudah harus bekejaran dengan gelap untuk menggapai Warsanbin, sebuah desa di terminus lain dari Pulau Waigeo.
Matahari mulai redup di ujung barat. Terhalang bukit dan hutan rimbun. Pak Jajang meyakinkan saya untuk terus berjalan lantaran kami sudah hampir sampai ke desa yang dituju. Lampu motor menjadi satu-satunya pemandu kami di tengah kegelapan hutan yang sudah tidak karuan ini.
Tidak dipungkiri saya merasa begitu lega ketika melihat hamparan air di bawah sana dikitari oleh kerlap-kerlip lampu sekenanya. Itulah Warsanbin. Desa terminus yang menjadi tujuan akhir dari perjalanan kami malam ini.
Listrik adalah barang langka di Papua. Apalagi di Pulau Waigeo. Jadi jangan heran apabila lampu hanya menyala dari pukul enam sore hingga pukul sembilan malam. Selebihnya kami terpaksa melewatkan malam dalam gulita. Entahlah. Semoga sisa-sisa penghabisan temaram senja masih menaungi kami, setidaknya hingga sebentar lagi.