Menginap di Teluk Mayalibit

Tidak sampai dua menit kami dikelilingi puluhan orang, termasuk ibu-ibu dan anak-anak. Saya berusaha melempar senyum meskipun agak was-was. Mereka membalas dengan senyum lebar.

Saya tiada sanggup melihat wajah bapak kepala desa. Suasana sekitar sudah terlampau gelap dan ayun-ayun nyala petromaks yang tertiup angin tidaklah menolong. Namun sambutan ramahnya membuat hati saya agak tenang. Sebab siapa lagi yang bisa kami harapkan di pedalaman Papua Barat ini, jika bukan mereka?

“Boleh kami menginap di dermaga malam ini, Pak?” pinta Pak Jajang kepada bapak kepala desa yang disambut dengan tawa renyah. Tentu saja malam itu kami diizinkan untuk bermalam di dek dermaga kayu seadanya itu.

Dermaga itu terletak tepat di atas perairan Teluk Mayalibit. Satu pasase kecil menembus barisan perbukitan yang mengurungnya membentuk luasan mirip danau di perairan cantik ini. Air yang tenang bergetar-getar pelan mengiringi dinginnya malam yang menggantikan hangatnya senja. Di sinilah kami akan melewatkan malam ini.

Diskusi sebelum tidur malam itu tidak jauh-jauh dari dunia pendidikan. Bagaimana guru-guru seperti Pak Jajang dikirim dari Jawa kemudian ditempatkan untuk mengajar di pedalaman Papua seperti ini. Termasuk bagaimana mereka terpaksa berhadapan dengan kekurangan sumber daya manusia untuk mengembangkan tanah ini.

“Menurut saya Papua sekarang diprioritaskan oleh pemerintah,” pungkas Pak Jajang meskipun terbekas keragu-raguan di balik suaranya, “Masalah itu lahir dari internal kami. Ketidakmampuan untuk menjaga suasana yang kondusif. Akibatnya dana besar yang digelontorkan itu sering tidak kena sasaran, atau setidaknya kurang efektif.”

Saya percaya Pak Jajang benar. Sejauh pengalaman saya, memang Papua mendapatkan anggaran pendidikan yang sangat besar dari pemerintah pusat. Namun entah seperti apa realisasinya di daerah dan ke mana uang-uang tersebut mengalir, saya kurang mafhum.

Tidak berapa lama kemudian serentak listrik seluruh desa padam. Seperti sebiasanya. Selazimnya masyarakat di Raja Ampat, warga Desa Warsanbin masih harus berjibaku dengan pemadaman bergilir. Listrik yang dialirkan ke sudut-sudut pulau di Raja Ampat tidak mencukupi untuk seterus hari sehingga mereka terpaksa hanya menyalakan listrik tiga sampai empat jam sehari.

Sekeliling saya meredup sesaat kemudian gelap pekat. Langit malam yang bertabur bintang pun terasa semakin menjadi-jadi, kerlap-kerlip lampu angkasa menaungi malam di Raja Ampat.

Saya sih tidak keberatan.