“Tidak usah tambah bumbu,” ucap saya seraya membantu menguliti lima ekor ikan yang baru saja dipancing dari perairan Teluk Mayalibit, “Ikan segar itu rasanya sudah enak tanpa perlu bumbu.”
Lagipula kami memang tidak punya bumbu apapun untuk ditambahkan.
Tetapi bolehlah saya menambahkan sedikit cabe di sana. Malam itu kami berempat menyantap ikan-ikan kuning yang baru saja dipancing dari Teluk Mayalibit. Lima ekor ikan naas yang dijaring dari perairan ini memang terpaksa kami bakar seadanya. Namun bukankah di situ seninya?
Kelima ekor ikan ditumpuk di atas bara menyala yang dihasilkan seonggok arang dan beberapa bilah kayu bakar. Nyala api kecil yang menjilat-jilat menghanguskan kelimanya. Malam itu kami harus makan ikan bakar tanpa bumbu tanpa nasi. Sekedar untuk mengganjal perut.
“Ada satu yang menarik dari pengalaman saya selama bertahun-tahun di Papua,” ucap Pak Jajang memulai ceritanya sementara kami duduk melingkar menyantap ikan, “Di sini semua orang dapat berbahasa Indonesia. Kalau kita ke pedalaman Jawa saja sering ada nenek-nenek yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Tetapi di Papua agak berbeda. Mulai dari Agats, Merauke, Jayapura, Waisai, semua bisa berbahasa Indonesia.”
Memang. Pada era Orde Baru ada usaha ekstra keras dari pemerintah untuk mengindonesiakan provinsi masif yang belakangan bergabung dengan republik ini. Termasuk Bahasa Indonesia.
Ikan tuntas dengan cepat. Namun pembicaraan ini tidak. Kami berdiskusi mengenai masyarakat Papua dan bagaimana memajukan mereka melalui pendidikan yang lebih layak. Perjalanan untuk ke sana tentu masih jauh namun setidaknya Papua sudah banyak bergerak maju, tidak terkecuali Raja Ampat yang sedang menikmati bulan madu pembangunan.
“Ada satu hal yang lucu,” kisah Pak Jajang sembari terkekeh-kekeh, “Ketika mengajar di desa-desa pedalaman Papua, ada seorang guru teman saya yang mengeluh bahwa setiap pagi dia harus memanggil murid-muridnya dari atas pohon. Dari situ saja terlihat, bahwa Papua memang harus ditangani secara berbeda.”