Apabila Jepang pernah memindahkan ibukotanya dari Kyoto ke Tokyo, maka Kasunanan pernah memindahkan ibukotanya dari Kartasura ke Surakarta. Adalah Geger Pacinan yang dipicu bentrok antara tentara Belanda melawan pedagang Tionghoa meluas menyeret orang-orang Jawa, hingga pada akhirnya Kraton Kartasura turut porak paranda. Peristiwa yang diberi label Belanda sebagai Chinesenmoord, pembunuh orang Tionghoa, menjadi lembaran hitam sejarah nusantara.
Sri Susuhunan Pakubuwono II kemudian berinisiatif memindahkan istana ke Desa Sala, diambil dari nama Kyai Sala yang menguasai dusun tersebut. Lantaran orang-orang Belanda tidak begitu lancar menyebut Sala, maka mereka lebih suka menyebut Desa Sala dengan nama Solo. Kraton baru yang dibangun di Solo inilah yang kemudian dinamai Kraton Kasunanan Surakarta.
Berbeda dengan Kraton Kartasura yang monoton, Kraton Surakarta mempunyai desain arsitektur Jawa eksotis yang didesain langsung oleh Pangeran Mangkubumi. Pada kemudian hari, Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah mengapa desain tata ruang Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta relatif mirip satu sama lain.
Pada awal bergabungnya Kasunanan Surakarta dengan Republik Indonesia, kesunanan ini sempat mendapatkan keistimewaan setara dengan Yogyakarta. Sayangnya konflik politik berkepanjangan membuat Daerah Istimewa Surakarta tidak mampu bertahan lama dan akhirnya diubah menjadi Karesidenan Surakarta yang dilebur di bawah Provinsi Jawa Tengah.
Semenjak saat itu, Kasunanan Surakarta praktis tanpa kuasa. Kerajaan yang merupakan satu dari empat sempalan Kerajaan Mataram ini kini tidak lebih dari sebuah simbol bagi Kota Solo.
Hari itu Annisa bersama saya menyusuri Kraton Surakarta. Bangunan yang kini sebagian besar telah menjadi museum publik itu menyimpan koleksi kraton sepanjang empat abad. Kasunanan Surakarta masih aktif hingga saat ini dengan rajanya Sri Susuhunan Pakubuwono XIII.
Meskipun secara virtual Kasunanan Surakarta hanyalah sekedar simbol, pemindahan kekuasaan di kraton ini masih kerap diwarnai konflik keluarga. Salah satunya adalah sewaktu Sri Susuhunan Pakubuwono XII mangkat, takhta Kraton Surakarta diperebutkan oleh Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tedjowulan. Sengketa berkepanjangan tersebut akhirnya memaksa Pemerintah Kota Solo turun tangan untuk menengahi. Ono-ono wae.