Hancurkan Radio Malabar!

Berkali-kali pemuda itu mencoba menyalakan gendewesi. Namun korek yang terbuat dari besi itu tidak mampu menyala. Nyaris putus asa mereka mencoba untuk memantik api, namun sekalinya berhasil api langsung padam sesaat sebelum membakar sumbu dinamit. Sekali. Dua kali. Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba sumbu dinamit itu terpantik dan para pemuda berlarian.

Kemudian ledakan kencang terdengar. Asap pekat membumbung tinggi.

Stasiun radio Malabar luluh lantah diiringi letusan demi letusan. Arak-arakan tabun hitam kelam mengudara dari pucuk Gunung Puntang, terlihat jelas dari tatar urban Bandung.

Tidak berapa masa, sepasang pesawat Mustang Belanda bermanuver di Malabar, berputar-putar mengamati apa siapa yang ada di bawah sana. Para pemuda berdiri sambil mengacung-acungkan tinjunya ke udara lantaran mereka paham pesawat-pesawat Mustang itu tidak mungkin sanggup mendarat di Gunung Puntang.

Peristiwa yang disiarkan Radio Singapura beberapa waktu kemudian itu adalah salah satu bagian dari Peristiwa Bandung Lautan Api. Bahkan boleh dibilang merupakan salah satu momen paling krusial selain aksi dinamit bunuh diri Muhammad Toha di Dayeuhkolot yang berhasil meratakan gudang mesiu Belanda.

Puing-puing sisa pengeboman stasiun radio Malabar ini masih tersisa di Gunung Puntang, di tengah himpitan hutan pinus dan tidak jauh dari perkebunan teh. Namun tidak banyak yang menyadari betapa pentingnya stasiun radio rintisan insinyur De Groot pada masa tersebut.

Keberadaan stasiun radio Malabar pada awal abad silam begitu fenomenal. Tidak hanya menjadi pembuka jalan bagi komunikasi nusantara, siaran radio Hindia Belanda yang disebarkan dari atap Gunung Puntang ini mampu ditangkap oleh kapal yang sedang berlayar di Terusan Panama.

Saat ini bangunan bersejarah itu sudah tidak eksis. Ia menjadi sebuah harga yang harus dibayar untuk usaha mempertahankan kemerdekaan.