Baris Epitaf Museum Prasasti

Museum Taman Prasasti adalah altar histori hal ihwal kematian. Pada sela-sela kerunyaman Tanah Abang, kober tua ini terselip begitu saja lepas dari pandangan-pandangan yang kurang awas. Memang museum ini tidak terlihat begitu mencolok dari luar sana, tidak banyak yang terlihat dari luar pagar besi yang bertengger pada temboknya yang putih bersih. Pada suatu masa, tanah ini adalah kuburan. Kini ia menjadi sebuah museum yang dikhususkan untuk menyimpan bongkahan nisan dari tokoh-tokoh penting yang pernah berkiprah di negeri ini.

Ali Sadikin meresmikan Taman Prasasti pada tahun 1977, mengubah status Kebon Jahe dari tanah kuburan menjadi museum nisan. Tidak mengherankan apabila nuansa muram masih membayang di museum ini layaknya Kebon Jahe Kober pada masa silam, yang notabene adalah salah satu makam tua yang masih bertahan hingga saat ini, lebih tua delapan tahun daripada Pere Lachaise di suburban Paris yang dibangun pada tahun 1803.

Mendung sudah memayungi Jakarta semenjak pagi. Barangkali saya adalah pengunjung pertama museum ini pada hari itu dan harus berjibaku dengan guyuran gerimis yang ringan membasuh mengiringi langkah-langkah kaki. Di beberapa epitaf tertampak grafir bertuliskan HK, singkatan dari Hollandsche Kerk.

Usut punya usut, Jakarta sempat pernah punya kuburan lain di utara sana. Tanah pekuburan yang dinamai Nieuwe Hollandsche Kerk, alias Gereja Belanda Baru, pada zaman tersebut dirasa sudah terlampau penuh hingga pemerintah kolonial memutuskan untuk membangun tanah pekuburan baru di Kebon Jahe. Seiring perkembangannya kuburan lama tersebut digusur dan kini menjadi lokasi Museum Wayang. Beberapa makam penting dari tanah pekuburan yang lama dipindahkan ke Kebon Jahe Kober, dalam prosesnya nisan-nisan mereka digrafir dengan tatahan inisial HK.

Baris-baris epitaf besar kecil mengapit langkah saya menyusuri jalan setapak di Museum Taman Prasasti. Salah satu nisan paling terkenal di tempat ini adalah milik Sang Demonstran, Soe Hok Gie, yang berbalut tulisan tipis nyaris tidak terbaca, “Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow.”

Selain nisan Soe Hok Gie, salah satu epitaf lain yang paling tenar adalah milik Kapitan Jas. Entah siapa beliau, namun dipercaya bahwa kuburan Sang Kapitan Londo ini memberikan kemakmuran bagi para peziarahnya. Benar atau tidak tentu bukan urusan saya, karena teruntuk saya pribadi tempat ini adalah selayaknya tanah kontemplasi, bukan altar pesugihan.