Menyisir Bukit Doa Tomohon

Kabut mengambang rendah di tinggian Tomohon. Beberapa saat kemudian saya terpaksa harus membuka kaca helm demi melihat jalanan dengan lebih jelas. Sementara kendaraan-kendaraan bermunculan dari balik kabut di depan seakan-akan baru saja keluar dari dimensi lain.

Tujuan kami pada hari itu adalah Bukit Doa Tomohon, sebuah area untuk berkontemplasi, atau orang Nasrani biasa menyebutnya dengan istilah retret. Bukit Doa sejatinya merupakan kompleks milik umat Katholik, salah satu elemen yang paling menarik darinya adalah keberadaan Jalan Salib Mahawu yang digunakan untuk menapak tilas perjalanan penyaliban Yesus Kristus.

Bukit Doa Tomohon punya pemandangan cantik menarik dengan barisan pinus yang tertata rapi mengapit setapak naik turun bukit. Sementara di salah satu papar bukitnya yang menghadap ke Kota Tomohon terdapat bongkah-bongkah besar batu berwarna kecoklatan. Mungkin batu-batu vulkanis yang terlontar langsung dari perut Gunung Lokon ketika gunung tersebut meletus.

Pagi itu tidak ada seorang pun kecuali kami di sana. Udara sejuk membuat perjalanan menjelajahi Bukit Doa Tomohon menjadi terkesan ringan dan menyenangkan. Meskipun kabut yang sempat pekat juga membuat kami sedikit was-was dalam berkendara.

“Tempat ini biasanya ramai pada akhir pekan,” terang Haidir sembari merapatkan jaketnya, “Kalau hari biasa seperti sekarang sih tempat ini kosong. Semua sibuk bekerja.”

Benar. Semua orang sibuk bekerja. Kecuali dua pengangguran seperti kami. Alhasil, justru kamilah yang akhirnya punya kesempatan untuk menikmati kemolekan Dataran Tinggi Tomohon tepat di masa-masa terbaiknya.

“Tidak semua pesinggah yang ke tempat ini beribadah,” lanjut Haidir lagi, “Banyak yang seperti kita hanya sekedar mampir. Ada pula yang menggunakan tempat ini untuk pre-wedding. Bukit Doa Tomohon lumayan populer untuk studio pre-wedding selain Danau Linow tentunya.”