Kapel di Bukit Doa Mahawu

“Aduh, kamu berani sekali sendirian dari Jakarta. Aduh, hati-hati di jalan ya,” di balik suara lantang melengking Bu Magdalena, saya melihat sepasang matanya menatap saya kasihan. Bu Magdalena bukan perkecualian. Seperti umumnya orang tua Indonesia, solo traveling sudah dianggap setara dengan maju ke medan perang. Padahal saya tidak sepenuhnya sendirian, di Manado sudah ada Haidir dan Randy yang menemani.

Tidak berapa lama suami Bu Magdalena, Pak Yosafat, tiba dengan sepeda motor tuanya sambil membawa seekor babi gemuk berkulit merah muda yang tergeletak melintang di jok belakang.

“Kalian harus coba naik Bukit Doa,” katanya kepada saya seraya menenteng rantang besar yang entah apa isinya. Hanya berbekal saran singkat padat dan tidak jelas itu jadilah pagi ini Haidir mengantarkan saya untuk mencapai Bukit Doa menembus kabut tipis yang sedari tadi menaungi tinggian Kota Tomohon.

Bukit Doa Tomohon itu cantik nian. Terlepas dari keyakinan apapun, tempat ini memang pantas dinikmati. Kebetulan Bukit Doa merupakan emplasemen ibadah umat Katholik sementara Haidir sendiri adalah seorang Muslim.

Bangunan paling ikonik dari Bukit Doa Tomohon adalah Kapel Mahawu, bangunan berbentuk setengah tabung ini seringkali menjadi lokasi favorit untuk berfoto. Selain itu juga kerap dijadikan sebagai latar belakang foto-foto pernikahan bagi penduduk Sulawesi Utara. Bahkan tidak jarang pesta pernikahan pun diadakan di tempat ini.

“Kalau di sini selain kapel juga ada amfiteater dan gua untuk doa,” terang Haidir yang nampaknya paham betul dengan tempat ini, “Yang juga terkenal adalah Jalan Salib.”

Saya mencoba untuk tidak banyak berpikir di tempat ini. Biarlah udara dingin dan sunyi mencoba menenggelamkan saya di dalam perenungan. Satu demi satu rumput basah mulai terasa dingin setelah saya bertelanjang kaki menyusuri hamparan taman Bukit Doa yang indah.

Dari atas salah satu halamannya saya melihat Puncak Lokon yang masih saja mengepulkan asap tebal, sementara Kota Tomohon diapit di tengah-tengahnya seperti daging dihimpit dua potong roti. Saya pun menoleh ke arah Haidir dan mengisyaratkan kepadanya untuk mengambil gambar saya. Pokoknya saya harus punya foto dengan latar belakang gunung meletus ini.