Ketenangan yang dimiliki Nagreg di masa kecil tinggal kenangan. Lalu lintas yang kian tahun kian padat mendapuk lintasan ini menjadi jalur maut. Belakangan gunung-gunung berbatu cadas yang melingkunginya pun terpaksa dipangkas, ditembus untuk memberi ruang lebih bagi jalan lintas selatan Pulau Jawa.
“Ini petak-petak sawah terakhir Nagreg,” celetuk saya kepada Rossy tatkala melakukan videocall dari kereta seraya menunjukkan kepadanya hamparan hijau di peralihan Bandung dan Garut yang tinggal secuil. Rossy hanya terkekeh mendengarkan penjelasan saya yang bernada sinis.
Tidak salah. Dua puluh tahun silam, saya kerap melintasi daerah ini dan terpana dengan luasnya sawah hijau yang membentang dari kaki Gunung Guntur hingga Cibiru. Namun kini yang tersisa tinggal sedikit. Selebihnya adalah jalan raya yang penuh truk berukuran masif dan pemukiman yang bertumpuk-tumpuk seperti sarden.
Pada satu sisi, itu berarti pembangunan sedang bekerja. Namun pada sisi lain, hal ini semacam genta pengingat bahwa kesesakan ini mengisyaratkan akan segera lenyapnya petak-petak sawah terakhir Nagreg.