Meskipun hanya stasiun kecil, semua kereta harus berhenti di Stasiun Cipeundeuy.
Perhentian di stasiun kecil di lekuk-lekuk pegunungan Pasundan ini bukan untuk menaikturunkan penumpang, melainkan untuk sebuah rutinitas yang bermula dari insiden di penghujung tahun 1995. Kala itu, pada saat melintasi areal pegunungan yang terjal, rangkaian gabungan kereta api Galuh dan Kahuripan terperosok di Jembatan Trowek menewaskan banyak penumpang.
Sejak peristiwa tersebut, seluruh kereta api diwajibkan untuk berhenti tepat sebelum memasuki dataran tinggi Pasundan, tepatnya di Stasiun Cipeundeuy, untuk inspeksi mesin.
Stasiun Cipeundeuy terletak di ketinggian 772 meter di atas permukaan laut. Ini merupakan pintu gerbang masuk bagi kereta yang berangkat menuju ke arah Bandung. Selepas dari Stasiun Cipeundeuy, jalur-jalur rel terjal khas Pasundan akan mewarnai perjalanan. Sejujurnya, inilah bagian favorit saya.
Keberangkatan dengan kereta api Turangga pada larut malam dari Solo, biasanya berarti saya dapat menyaksikan matahari terbit di balik perbukitan indah selepas stasiun ini. Namun apabila keberangkatan dengan menggunakan kereta api Lodaya, maka saya melewati daerah ini dalam keadaan gelap gulita.
Dikarenakan seluruh kereta api pasti berhenti pada stasiun ini, tentu tidak mengherankan apabila sepanjang relnya disesaki oleh pedagang asongan. Dagangan yang paling lazim tentu saja adalah tahu Sumedang, selebihnya dodol Garut.
“Kalau sudah sampai Cipeundeuy biasanya saya sudah tidak bisa tidur lagi,” kata saya kepada seorang ibu guru yang duduk di kursi sebelah, “Mungkin karena pemandangannya terlalu indah atau mungkin juga karena berarti sudah pagi.”