Sebelum Cipeundeuy, demikianlah saya menandai rute dua belas kilometer yang merentangi sisi selatan Pulau Jawa, dari Rajapolah ke Cirahayu. Baik Stasiun Cirahayu maupun Stasiun Rajapolah bukanlah stasiun besar, bahkan keduanya cenderung terlupakan.
Stasiun Cirahayu hanya empat kilometer sesudah Ciawi, atau sekitar delapan kilometer menjelang perhentian universal, Stasiun Cipeundeuy. Di sinilah biasanya saya paling menikmati jalanan pagi dengan Kereta Api Ekspress Turangga lantaran matahari akan segera terbit dari sebalik bukit.
Stasiun Rajapolah mulai digunakan semenjak seratus dua puluh tahun yang lalu. Pada waktu itu pelintas primernya adalah kereta-kereta api pengangkut pasir Gunung Galunggung yang menuju langsung ke Jakarta Timur. Namun seiring perkembangan zaman, stasiun ini lebih banyak sekedar dilintasi bahkan tanpa dilirik.
Lagit terlihat mulai agak biru ketika kereta ini tiba di Stasiun Cirahayu. Artinya sebentar lagi kami akan masuk ke Cipeundeuy tepat ketika matahari terbit. Saya duduk termangu menatap erat-erat ke luar jendela, semburat merah muda terlihat sebaris di cakrawala.