Indah murni alam semesta,
Tepi Sungai Serayu,
Sungai pujaan bapak tani,
Penghibur hati rindu.
Dendang langgam keroncong gubahan begawan Soetejda mengiringi perlepasan kereta-kereta dari Stasiun Kroya. Memang tidak selazimnya sebuah stasiun dilatari musik keroncong. Beberapa dekade sudah langgam bertajuk “Di Tepinya Sungai Serayu” menjadi musik latar stasiun besar ini hingga kemudian mendarah daging dan menjelma menjadi ciri khasnya.
Stasiun besar, mereka menyebutnya. Benar. Lantaran Stasiun Kroya memang termasuk perhentian bagi kereta-kereta besar yang melintas di paparan selatan Pulau Jawa. Ukuran kanalnya pun tidak sembarangan, stasiun ini didukung oleh sepuluh lintasan rel yang menghubungkan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Gurat-gurat sejarah menggambarkan bagaimana Stasiun Kroya ini memang sedari dulu sudah memegang peranan yang begitu penting. Ia dibangun sebagai titik simpang kereta Eendaagsche Express jurusan Batavia-Soerabaja dengan kereta pengumpan yang berasal dari Bandung Hall.
Pada masa sekarang, ia menjadi stasiun paling sibuk di Daerah Operasi 5 lantaran masih menjadi rute persimpangan kereta api yang datang dari Tasikmalaya maupun Cirebon. Seringkali saya menggunakan Stasiun Kroya ini sebagai patokan setengah jalan ketika berkereta dari Solo ke Bandung maupun sebaliknya.
Saya memicingkan mata menatap ke kejauhan, melihat hampar sawah yang setengah mengering di seberang sana. Sayup-sayup langgam keroncong bergema. Kereta pun kembali berjalan.