Menilik Kampung Vietnam

Teruntuk sebagian orang, masa lalu adalah lembaran kusam yang terkubur debu tebal. Ia tidak menarik untuk dilihat dan bahkan cenderung terlupakan, terabaikan lantaran si empunya sibuk menatap masa depan. Atau boleh jadi karena memang ia pantas dilupakan karena tidak layak untuk diputar ulang dari memori yang suram.

Mengunjungi Kampung Vietnam ibarat membuka kembali lembar-lembar syahdu bangsa seberang lautan itu. Terngiang bagaimana konflik politis yang beresonansi dari Perang Vietnam meluluhlantahkan seisi republik, membuat rakyatnya hidup dalam ketakutan dan teror. Ratusan atau mungkin ribuan perahu berlepas membawa penumpang tiga kali kapasitasnya, berlayar di Laut Cina Selatan entah ke manapun mereka terdampar nantinya.

Dunia menyebut mereka Manusia Perahu. Jumlahnya jutaan. Sebagian yang beruntung terdampar di sini dengan tubuh kurus bermandikan feses, penyakitan, dan sekarat. Yang kurang beruntung mati di laut. Mereka tidak pernah ditemukan.

Gelombang pengungsi ditampung di Pulau Galang atas inisiatif pemerintah Republik Indonesia dan dengan dukungan penuh oleh UNHCR, satu demi satu dari mereka didata dan diberi kehidupan yang baru. Tempat ini tidak hanya memberikan rumah, namun juga tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, hingga penjara.

Namun Pulau Galang tetaplah dunia yang lain, di pulau kecil ini para pengungsi Vietnam diisolasi dan tidak diizinkan berinteraksi dengan masyarakat luar. Pemerintah khawatir akan dua hal. Pertama ihwal masalah sosial yang potensial dibawa. Kedua adalah masalah terkait Vietnam Rose, sebuah penyakit kelamin menular yang ditengarai ada di tubuh para pengungsi.

Kampung Vietnam punya banyak cerita kelam. Tentang seorang gadis pernah diperkosa oleh sesama pengungsi dan bunuh diri di kompleks ini. Tentang rombongan pengungsi yang menolak dipulangkan ke negaranya dan membakar kapal mereka. Tentang seorang kakek yang menghabiskan hidup tinggal di tempat ini hingga tahun 1995.

Sore ini saya berdiri seorang diri di depan hamparan nisan yang putih bersih. Seluruhnya ditatah dalam lima bahasa yang kurang lebih membawa satu makna, dipersembahkan untuk para pengungsi yang meninggal dunia pada waktu perjalanan menuju kebebasan.

Ya. Demi sebuah kebebasan yang harus dibayar dengan nyawa.