Panasnya Pantai Air Manis

Aie Manih nama sejatinya. Air Manis, demikian orang menyebutnya tenar, memang tidak ubahnya sebuah kesunyian yang kontras dengan hiruk pikuk kota Padang, lantaranpun dipisahkan hanya oleh segunduk dua gunduk bukit hijau. Gelombang liar Samudera Hindia diredam oleh lekukan tanjung di kanan kirinya dan sebuah daratan yang disebut sebagai Pulau Pisang Kecil.

Sebelum Elza mengantarkan saya ke tempat ini, tentu saja ini ada di luar dugaan saya. Sebiasanya barisan pantai-pantai yang menghadap Samudera Hindia mempunyai gelombang laut yang liar, melamun sejauh mungkin ke daratan. Namun Pantai Air Manis berbeda, ombaknya tenang.

Setelah memarkir sepeda motor di salah satu landaian pantai, Elza dan saya berjalan menuju bebatuan karang di balik perbukitan. Batu-batu hitam dengan permukaan kasar berulang kali diterpa ombak laut, membuat kami berdua harus sangat berhati-hati memijaknya. Elza beberapa kali terperosok kehilangan keseimbangan.

“Kalau lewat sini memang harus hati-hati kan,” kata Elza melempar retorika, “Dari sebalik bukit karang ini pemandangannya lebih leluasa untuk dilihat.”

Satu hal yang tidak kami bahas dari tadi adalah panasnya Pantai Air Manis. Naungan pohon-pohon kelapa berdaun lebat dan beberapa dipan bambu yang ditaruh di atas sepetak rerumputan tidak cukup untuk mengingkari panasnya udara siang itu. Semakin salah pula kami memakai pakaian gelap.

Namun itulah Pantai Air Manis, di seberang sana terdapat Batu Malin Kundang, batu yang dipahat oleh seniman Minang pada tahun 1980-an itu meroketkan popularitas pantai ini. Kami akan segera berjalan ke sana, namun untuk saat ini biarlah kami menikmati apa yang ada di sini.