Saya cuma bisa menatapnya dari kejauhan. Heri dan Simon bilang tidak ada waktu untuk turun mendekat. Memang. Saya hanya sempat mampir lantaran saya harus segera buru-buru berpindah kota lagi setelah kembali ke Medan esok nanti.
Dari atas sini Sipiso-piso masih terlihat grandeur, air terjun yang pipih tinggi menjulang dengan hempasan air yang membuat dasarnya terlihat seperti beruap-uap. Bagaikan pisau menghunjam langsung ke cekungan sisa-sisa kaldera Gunung Toba. Dari situlah namanya tenarnya didapatkan, Sipisopiso, bagaikan pisau.
Dari ketinggian 120 meter di papar plato Tongging, saya berdiri di bibir tebing, tepat di seberang pancuran yang digadang-gadang sebagai tertinggi kedua di Indonesia setelah Siguragura, yang juga terletak di Sumatera Utara.
Pada zaman prasejarah, adalah vulkano Gunung Toba yang mendiami wilayah ini. Stratovolcano berukuran raksasa yang berdiri angkuh di dataran Sumatera Utara itu meletus meluluhlantahkan peradaban manusia purba hingga menyisakan sebuah danau raksasa. Dengan kata lain, Danau Toba adalah kaldera dari Gunung Toba. Dan di bibir kawahnya itulah Sipisopiso bernaung.
“Kita tidak bisa lama-lama di sini,” entah sudah berapa kali Heri mengucapkan hal yang sama kepada Simon dan saya, “Secepatnya kita harus kembali ke Medan, soalnya ini ngejar bus.”
Memang benar. Sore ini saya harus berada di terminal Medan lantaran saya harus berangkat menuju ke Padang Sidempuan berbekal tiket bus yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Sayang memang. Andaikan saja ada waktu berlebih barangkali saya sudah turun ke bawah sana untuk menikmati angkuhnya Sipisopiso dari kedalaman ngarai.