Fatumnasi Masih Terisolasi

Fatumnasi tidak hanya terperangkap oleh tebing. Desa ini seakan-akan sudah dikurung oleh kubah magnetik tidak kasat mata yang membendung sinyal telekomunikasi. Pasalnya, hanya ada satu operator yang sinyalnya menjangkau desa ini, yaitu Telkomsel, itu pun hanya satu bar. Jika waktu sedang baik, kami bisa beruntung mendapatkan koneksi data Edge.

Selain dari sisi telekomunikasi, Fatumnasi juga terisolasi dari sisi transportasi. Desa di lereng teratas Gunung Mutis ini tidak punya akses jalan yang layak untuk menuju ke Desa Kapan yang berada tepat di gerbang keluar masuk yang menghubungkan desa-desa gunung dengan jalan raya Pulau Timor yang menghubungkan Kota Kupang dan Kota Kefamenanu.

“Kalau tidak ada sinyal, coba ke dekat benteng sana biasanya ada sinyal,” saran Pak Mateos Anin seraya membereskan barang-barang di rumahnya untuk menyambut kedatangan seorang tamu dari jauh. Terus terang saya tidak terlalu paham apa yang beliau maksud dengan benteng, namun saya hanya mengangguk kecil dan meninggalkan pondok itu untuk berjalan-jalan di luar. Terkadang keterisolasian itu adalah sesuatu yang baik kan?

Teruntuk saya yang sedang melepaskan diri dari rutinitas keras ala Jakarta, sudah pasti ketenangan ini rahmat. Tetapi untuk perekonomian Fatumnasi, hal ini menjadi tembok penghalang yang besar. Susahnya akses transportasi dan distribusi barang ke desa ini secara tidak langsung membuat harga-harga barang menjadi lebih mahal daripada seharusnya.

Oto, demikian mereka menyebut mobil, hanya ada dua kali seminggu. Senin dan Rabu. Pada dua hari itu, mobil pick-up akan menuruni desa untuk menuju ke Desa Kapan atau Kota Soe. Hari lainnya adalah Rabu. Apabila terlewat, maka mereka harus menunggu minggu berikutnya atau kalau mendesak maka mau tidak mau harus susah payah bermotor turun atau jalan kaki.

“Sekarang sudah lebih baik,” ucap Yansen yang berbincang seru dengan saya di lapangan samping Gereja Ebenhaezer sore itu, “Setidaknya dengan banyaknya sepeda motor yang naik turun setiap hari, kita sudah bisa menumpang sana sini atau minimal bisa juga membawa motor sendiri turun.”

Tentunya jika bukan musim hujan. Pada musim hujan jalanan berbatu yang menghubungkan antara Desa Fatumnasi dengan Desa Kapan berlumur lumpur pekat. Salah berpijak, roda sepeda motor akan terpeleset ke kanan dan ke kiri yang salah-salah bisa mengirimkan penunggangnya ke jurang-jurang yang menganga di sepanjang perjalanan.

Soal sulitnya akses, kadang saya berpikir, bukankah itu yang membuat Fatumnasi tetap perawan?