“Gula-gula! Gula-gula!” mereka berteriak-teriak ketika melihat saya membawa sekantong permen di halaman sekolah yang sepi pada suatu sore di Waisai.
Setidaknya separo lusin anak-anak Papua Barat mengerubuti saya meminta jatah permen mereka masing-masing. Entah siapa yang mulai duluan namun saya curiga bahwa anak-anak di Waisai sudah kecanduan permen. Apa boleh buat, jadilah saya membagi-bagikan seisi kantung permen itu habis pada enam atau tujuh anak-anak kecil yang kemudian tertawa terbahak-bahak.
Yang penting jangan berebut, pinta saya.
Anak-anak Waisai termasuk anak-anak Papua Barat yang beruntung, rerata mereka mengenyam pendidikan yang layak, menghuni rumah yang layak untuk berteduh, dan mempunyai masa kecil dengan kebutuhan hidup terpenuhi. Namun tidak semua anak-anak Papua Barat bernasib sama seperti mereka. Masih banyak dusun-dusun di pedalaman Papua yang akses terhadap kebutuhan hidupnya masih serba minim.
Jangankan membangun Papua. Mengubah nasib keluarga mereka atau bahkan sekedar bertahan hidup pun boleh menjadi perkara runyam. Namun Waisai berbeda, pembangunan kencang yang digenjot oleh pemerintah beberapa tahun belakangan memperbaiki nasib banyak generasi muda dari tanah ini. Untuk saat ini saya hanya bisa berharap, sembari menyaksikan anak-anak bermain gembira di halaman sekolahnya.