Tidak pernah terbayangkan bagi saya sebelumnya untuk mau menceburkan diri ke sungai berkapalkan seikat bambu. Batangan-batangan bambu sepanjang empat hingga lima meter diikatkan menjadi satu dengan daun dan dilarung ke sungai. Tidak cukup sampai situ, kita juga ikut menaikinya dan menjaga keseimbangan di atasnya. Pernah naik skateboard? Sama. Cuma yang ini di sungai.
Cepat lambatnya perahu jadi-jadian ini tentu bergantung pada kecepatan arus sungai. Apabila arusnya tenang seperti kemarin, maka perahu ini akan berjalan lambat bahkan sesekali harus dibantu dengan dayung (yang juga cuma sebilah bambu). Apabila arusnya deras, apalagi banjir, tidak ada yang mampu anda lakukan. Bambu itu akan terseret kencang secepat aliran arusnya.
Sungai Amandit tidak luas, lebarnya mungkin hanya sepuluh meter dan airnya termasuk tenang, namun berkendara di atas seikat bambu mau bagaimanapun juga pastilah seru dan tegang. Apalagi lebar rakit tersebut tidak lebih dari rentangan tangan saya.
Perjalanan selama dua jam tersebut berakhir di Desa Hulu Banyu. Sebuah desa di lereng Pegunungan Meratus yang punya akses jalanan kecil beraspal yang cukup bagus. “Dari sini, kalian nanti berangkat ke Kandangan naik ojek,” kata bapak pendayung rakit menyebut tujuan kami berikutnya.
Belum pukul sebelas siang, saya dan Aci berpisah dengan saudara-saudara baru kami dari Loksado dan sekitarnya. Dengan menggunakan ojek, kami menempuh perjalanan sejauh hampir 40 kilometer dengan ongkos Rp 50.000. Harga yang mahal memang, namun sepadan dengan jauhnya jarak yang harus kami tempuh untuk mencapai kota terdekat.
Tujuan berikutnya? Entahlah. Yang jelas Aci dan saya masih menimbang-nimbang apakah kami berniat pergi lebih jauh lagi ke sudut-sudut Kalimantan Selatan.