Semasa kuliah ini adalah tempat pengasingan saya. Bukit-bukit kecil berpohon runduk, berbaris-baris tanaman teh menghampar luas bak karpet hingga terlihat lamat-lamat di sebatas sana. Tidak terhitung berapa kali saya pernah duduk di tengah-tengahnya, menikmati hembus udara dingin dan sunyinya alam Rancabali.
Sepuluh tahun terlewat, saya kembali ke tempat ini. Tiadalah banyak berubah selain jalanan yang sekarang sudah mulai beraspal mulus dan kesunyian yang mulai sedikit agak langka. Jalur tembus dari Bandung ke Cianjur ini memang lambat laun menjadi agak lumrah.
Sepeda motor renta yang saya geber selama dua jam belakangan dari Buah Batu kini menepi di hamparan kerikil yang membatasi jalan raya dengan perkebunan teh. Sekurang-kurangnya sudah seribu lima ratus meter di atas permukaan air laut, tinggian yang membuat hembus udara dingin membelai-belai wajah meskipun matahari bersinar cerah.
Rancabali adalah rumah bagi ribuan hektar tanaman teh dan kina. Sebuah kebun yang terhampar tanpa jeda, mulai dari pucuk selatan Bandung hingga ke seberang Cianjur. Itulah mengapa sejauh mata memandang, hanya terlihat hamparan hijau terang.
Saya meletakkan helm di salah satu pembatas jalan. Dari kelak-kelok perbukitan yang curam, inilah puncaknya. Jauh di bawah sana adalah Cianjur yang terpapar begitu jelas tanpa terhalang suatu apapun. Di tepi ngarai curam ini dulu saya pernah melewatkan hari-hari mengerjakan skripsi.
Kendara lintas Rancabali selalu menjadi kendara favorit.
Entahlah. Rancabali memang selalu spesial. Ketika dulu saya mencarinya di pagi buta demi sebuah ketenangan. Kini saya mencarinya demi sebuah nostalgia. Saya percaya, ia belum berubah.