Norris duduk di belakang, sementara saya bermanuver menikmati liuk-liuk jazirah Leihitu. Sesekali kami berhenti untuk mengambil gambar dan menikmati pemandangan lautan lepas. Gelombang di sempadan pantai Leihitu relatif lebih buas apabila dibandingkan kompatriotnya di sisi barat. Bagi pemburu lanskap tentu saja itu adalah kabar baik.
“Orang biasanya senang berfoto-foto di sana. Di Batu Layar,” kata Norris menggambarkan sepasang batu karang menjulang pada titik terminasi timur pulau ini. Batu Layar, sesuai namanya, memang berbentuk serupa sepasang layar terkembang.
Seusai berfoto, saya memacu sepeda motor kembali melintasi jalan beraspal yang senyap. Entah karena kurang konsentrasi atau apa, beberapa menit kemudian saya baru menyadari bahwa Norris tertinggal di Batu Layar! Sontak saya berputar balik untuk menjemput dia.
Dari kejauhan terlihat Norris berjalan kaki dengan muka pasrah.
“Ah. Aku kira kau sudah naik tadi. Kenapa tidak kau kejar saja motor tadi?”
Saya baru ingat kalau Norris Paul bukan Chuck Norris.
Norris hanya nyengir kecut. Sudah barang tentu adalah mimpi buruk ditinggalkan seorang diri di ujung jazirah Leihitu yang sunyi senyap seperti itu. Memang saya bukan teman yang baik.