Hanya dalam sepuluh menit. Sebuah perjalanan enteng yang sejatinya tidak enteng baru saja kami lakoni di velodrom museum yang didesain oleh Ridwan Kamil ini.
Gurat-gurat relief Tari Saman terpapar jelas di sepanjang dinding museum. Bangunan empat lantai seluas 2.500 meter persegi ini menyimpan nuansa damai. Bukan kedamaian yang penuh keagungan, melainkan nuansa kedamaian yang terkesan berbaur dengan kemuraman. Tepatnya nuansa aftermath. Mirip sebuah kelegaan akan sesuatu yang baru saja berakhir.
Fathur hanya diam saja ketika menemani saya berjalan kaki mengitari lantai bawah museum yang baru saja tutup itu. Sayup-sayup kicau burung menemani langkah kami berdua.
Tsunami meninggalkan kesan di Aceh. Di antara ratusan narasi yang dipaparkan di museum ini, satu yang paling menggetarkan adalah foto jam Masjid Baiturrahman. Jam besar yang terjatuh dihantam tsunami tepat pada pukul delapan lebih dua puluh enam menit dan mati pada saat itu juga. Matinya jam tersebut memberikan penjelasan kronologis mengenai jeda dua puluh tujuh menit antara peristiwa gempa bumi dan tsunami susulan yang menghantam Banda Aceh sepuluh tahun silam.
Kesan selebihnya, mungkin foto berikut ini akan menjawabnya.
Sebuah helikopter polisi yang luluh lantak teronggok tepat di depan batang hidung saya. Destruksi yang ada di setiap sudutnya terasa begitu dekat, tersimpan sedikit rasa terkesima bahwa ternyata air punya daya hancur sekuat ini. Bayang-bayang kepanikan akan tsunami seakan belum bisa lepas dari benak saya, terkesan bagaimana ketegangan dan kekacauan yang terjadi dalam durasi sedemikian singkat.
Ajakan Fathur untuk pulang memecah keheningan. Saya menoleh dan menyerahkan kamera kepadanya sembari menjawab, “Boleh. Foto saya dulu di sini. Setelah itu kita pulang.”