“Bapak tidak perlu ikut naik kok,” pinta saya. Namun tukang becak gondrong itu ngeyel mengikuti saya berjalan setapak demi setapak mendaki anak tangga menuju puncak bukit.
Entah berapa ratus anak tangga berbatu yang harus kami daki untuk menggapai pucuk. Hingga akhirnya kami pun tiba di hadapan sebuah gerbang batu berdinding kelabu. Lima abad lewat tembok batu milik Benteng Otanaha ini berdiri angkuh di pucuk bukit, direkatkan oleh campuran bongkah-bongkah kapur dan putih telur burung Maleo.
Dari atas sana, saya melihat jauh ke bawah. Sisa-sisa sitadel terserak di beberapa sudut bukit, sementara kota Gorontalo dan Danau Limboto melatarinya. Tidak salah apabila Raja Ilato lima abad silam meminta kepada Portugis untuk membangunkan benteng ini, sebab dari atas kita begitu leluasa melihat seantero Gorontalo. Menjadikan Benteng Otanaha sebagai fortifikasi ideal bagi kesultanan di tanah ini.
“Tiga ratus empat puluh delapan anak tangga,” terang sebuah papan pengumuman yang dipasangkan di sana menandakan jumlah anak tangga yang baru saja saya daki. Bukan angka yang kecil.
Usut punya usut, Benteng Otanaha bukanlah nama aslinya. Otanaha di dalam dialek regional mempunyai makna “Benteng yang ditemukan oleh Naha”, dengan kata lain ini adalah penamaan yang diberikan jauh setelah benteng tersebut dibangun. Perihal nama asli benteng ini, tidak saya temukan informasinya.
Siang yang panas itu saya berdiri di atas salah satu lingkar menara benteng, menatap ke luasan Danau Limboto di bawah sana. Nampak eceng gondok sudah memenuhi permukaan airnya, membuat kondisi danau kebanggan Gorontalo ini semakin hari semakin memprihatinkan, di tengah pendangkalan besar-besaran yang sudah barang tentu mengancam ekosistemnya.
Ada cerita bahwa dahulu Danau Limboto adalah ceruk yang terhubung hingga ke lautan, memungkinkan kapal-kapal dari Teluk Tomini untuk menembus ke dangkalannya dan bersandar. Namun kini dangkalan tersebut menjadi terlewat dangkal untuk dilalui kapal-kapal, menyisakan sampan-sampan kecil sebagai satu-satunya pelintas setia.