Komodo liar yang pertama kali bersua dengan saya ada di depan pintu toilet. Barang tentu bukan tempat yang diduga-duga karena ketika kami sedang berjalan melintas, tiba-tiba komodo yang masih kecil itu nyelonong dan mengais-ais tanah di depan kakus.
“Komodo memang biasanya ke sekitar sini ketika jam makan siang,” ungkap Usman, “Barangkali mereka mencium bau masakan dari dapur kita yang menyengat dan menghampiri tempat ini.”
Singkat kata, komodo-komodo itu punya daya penciuman yang tidak main-main. Dari beberapa kilometer jauhnya, seekor komodo dapat menghampiri lokasi yang mengeluarkan aroma menyengat. Bau makanan maupun bau darah.
Bicara soal penciuman, sensitivitas hidung komodo bukan remeh temeh. Itulah mengapa banyak ranger yang mewanti-wanti agar pengunjung wanita yang sedang menjalani masa menstruasi tidak melakukan trekking. Entah benar atau legenda, Usman berkisah bagaimana sekelompok turis pernah dikejar-kejar komodo di atas bukit lantaran sang kadal raksasa mencium bau darah.
Komodo tidak menghabisi mangsanya dengan mencabik-cabik apalagi menelan bulat-bulat. Komodo jauh lebih sabar daripada predator kebanyakan. Ia akan mengikuti mangsa perlahan-lahan dan ketika calon mangsa lengah, barulah komodo melancarkan serangan pertamanya. Serangan komodo tidak seketika mematikan. Racun dari air liur itu akan mengendap di dalam luka mangsanya, dalam dua atau tiga hari barulah korban gigitannya tewas.
“Kamu potret aku berdiri di sini,” pinta saya kepada Lomar ketika melihat seekor komodo lain berjalan pelan di balik pepohonan rimbun. Lomar pun menyanggupi meskipun was-was karena kadal tiga meter itu begitu dekat di belakang saya.
Dua kali saya bertemu komodo di kebun binatang ketika masih duduk di bangku sekolah. Namun inilah pertemuan saya dengan kadal legendaris ini di habitat aslinya. Tidak lama, Usman memberi kode kepada Lomar dan saya meminta untuk segera bersiap karena kami akan melakukan dua jam trekking membelah pulau kedua di Taman Nasional Komodo ini.