Menyapu Pesisir Bone Bolango

Bone Bolango adalah aspal tipis yang menyisir tepian karang laut, terhimpit perbukitan berselimut hutan lebat dan gemuruh gelombang Teluk Tomini. Semakin ke timur kondisi jalan semakin sepi, aspal semakin tipis, dan perlahan kemudian terkelupas dari tempat semestinya ketika jalan yang ini berujung di Provinsi Sulawesi Utara. Memang, lintas selatan ini bukan selazimnya jalan raya yang digunakan pelintas Sulawesi ketika bertolak dari Sulawesi Utara ke Gorontalo maupun sebaliknya.

“Hampir semua orang lewat jalur pantai utara,” ucap Pak Shodiq yang sibuk dengan mata kailnya di tepi teluk sore itu, “Sembilan puluh persen lah. Atau delapan puluh persen. Yang lewat sini sedikit.”

Tetapi lintasan timur Bone Bolango tidak sepi, arus lalu lalang dari desa-desa tepian pantai ke Kota Gorontalo seakan terus mengalir tanpa henti. Memang apabila diteruskan dan ditelusuri, keramaian ini akan semakin samar tatkala kita menggapai ujung timur provinsi.

Sepeda motor saya tepikan di sisi jalan raya, hanya ada sedepa tanah yang memisahkan antara jalan raya dengan lautan di bawah sana. Salah gas sedikit bisa terjun bebas. Di tepian laut ini saya duduk menikmati pemandangan perahu kayu lalu lalang memasuki celah leher sempit di teluk Kota Gorontalo, sementara sesekali kendaraan berukuran sedang berpacu di atas aspal.

Bone Bolango adalah barang baru, sebuah kabupaten yang terbentuk sebagai konsekuensi logis dari usaha pemekaran Provinsi Gorontalo pasca-reformasi silam. Peraturan perundangan yang mewajibkan setiap provinsi baru minimal mempunyai lima kabupaten memaksa para tokoh masyarakat untuk memisahkan Bone Bolango dari induknya di Gorontalo, sebagai sebuah kabupaten baru yang independen.

Semenjak dahulu kala, Gorontalo memang sebuah kawasan yang dihuni oleh lima kerajaan, yang menyebut diri mereka dalam satu kesatuan bernama Limo Lopahalaa atau Lima Bersaudara. Kabupaten Bone Bolango berasal dari cetak biru wilayah Kerajaan Suwawa dua belas abad silam yang mendiami tanah ini dan mempunyai hubungan erat dengan masyarakat Gorontalo dan Mongondow.

“Sebenarnya banyak orang yang ke sini,” sambung Pak Shodiq seraya menyesap sigaret yang sudah sepanjang jari kelingking, “Mereka itu kalau ke sini yang dicari ya hiu paus. Karena dari sini ke lautnya masih sepi, jadi masih banyak ketemu hiu.”

Begitulah. Kawasan Bone Bolango ini memang merupakan salah kawasan yang paling mudah dijangkau dari Kota Gorontalo untuk pengamatan hiu paus, bukan hanya karena oleh jaraknya yang relatif dekat namun juga oleh karena kondisi jalanya pun sudah baik. Di sebalik bukit matahari terlihat sudah kehilangan separuh wujudnya, saya pun mengucapkan salah kepada Pak Shodiq dan melanjutkan perjalanan menuju Kota Gorontalo, perjalanan kembali ke peradaban.